Rabu, 15 Februari 2012

Studi Hukum dalam Perspektif Ilmu Sosiologi


Studi hukum dalam perspektif ilmu sosial merupakan sebuah ikhtiar melakukan konstuksi hukum yang didasarkan pada fenomena sosial yang ada. Prilaku masyarakat yang dikaji adalah prilaku yang timbul akibat berinteraksi dengan sistem norma yang ada. Interaksi itu muncul sebagai bentuk reaksi masyarakat atas diterapkannya sebuah ketentuan perundang-undangan positif dan bisa pula dilihat prilaku masyarakat sebagai bentuk aksi dalam memengaruhi pembentukan sebuah ketentuan hukum positif. Contoh yang dapat digambarkan dalam model studi hukum dalam perspektif sosial adalah misalnya studi tentang hukum pertanahan tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Kita bisa mulai dari aturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur masalah pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Apakah ada ketidaksesuaian antara peraturan perundangan dengan kondisi masyarakat, sehingga menimbulkan konflik ketika pemrintah melakuakan pembebasan tanah dan seterusnya.
Dengan demikian, kajian sosiologi hukum adalah suatu kajian yang objeknya fenomena hukum, tetapi menggunakan optik ilmu sosial dan teori-teori sosiologis, sehingga sering disalahtafsirkan bukan hanya oleh kalangan non hukum, tetapi juga dari kalangan hukum sendiri. Yang pasti Kajian yang digunakan dalam kajian sosiologi hukum berbeda dengan Kajian yang digunakan oleh Ilmu Hukum seperti Ilmu Hukum Pidana, Ilmu Hukum Perdata, Ilmu Hukum Acara, dan seterusnya. Persamaannya hanyalah bahwa baik Ilmu Hukum maupun Sosiologi Hukum, obyeknya adalah hukum. Jadi meskipun obyeknya sama yaitu hukum, namun karena “kacamata” yang digunakan dalam memandang obyeknya itu berbeda, maka berbeda pulalah penglihatan terhadap obyek tadi. Yang mengenakan kaca mata hitam akan melihat obyeknya sebagai sesuatu yang hitam, sebaliknya yang memakai kacamata abu-abu akan melihat obyeknya abu-abu.[1]
Disadari bahwa hukum merupakan salah satu dari pranata-pranata yang bersifat sentral bagi sifat sosial manusia dan yang tanpa pranata-pranata itu, maka manusia akan menjadi suatu makhluk yang sangat berbeda. Banyak bidang pemikiran dan tindakan, yang di dalamnya hukum, ditelaah dan terus memainkan peran besar dalam kegiatan manusia. Pemikiran tentang hukum telah berkembang sepanjang sejarah umat manusia. Para filosof mulai dari Plato hingga Marx telah menegaskan betapa hukum adalah sesuatu yang buruk, yang menjadikan umat manusia akan melakukan dengan baik untuk mengendarai cirinya sendiri. Namun demikian, terhadap semua keraguan filosofis tersebut, pengalaman telah membuktikan bahwa hukum merupakan salah satu dari kekuatan-kekuatan besar yang menciptakan peradaban dalam masyarakat manusia, di mana perkembangan peradaban umumnya telah dikaitkan dengan perkembangan gradual suatu sistem aturan-aturan hukum, bersama-sama dengan mekanisme untuk penegakannya yang teratur dan efektif.
Namun demikian, seperti yang pernah dikemukakan oleh Prof. Dennis Lloyd (1982), ketentuan hukum tidak berada dalam suatu ruang kosong, tetapi ditemukan berdampingan dengan aturan-aturan moral dengan kompleksitas atau kurang-lebih yang berwujud kepastian. Di lain pihak, hukum juga merupakan salah satu “gejala sosial” , yang diterapkan di dalam masyarakat yang berbeda-beda satu sama lain. Olehnya, kitapun tak dapat menafikan wujud hukum sebagai “realitas sosial”.
Dalam perkembangannya, paling tidak ada tiga jenis kajian yang dapat digunakan dalam mempelajari ilmu hukum, yaitu : (a) Kajian normatif, yang memandang hukum hanya dalam wujudnyasebagai aturan dan norma; (b) Kajian filosofis, yang memandang hukum sebagai pemikiran, dan (c) Kajian sosiologis, yang memandang hukum sebagai perilaku.
Perkembangan kajian sosiologis di dalam kajian hukum itu, menimbulkan adanya dua jenis Kajian sosiologis : (a) yang menggunakan sociology of law , dan yang (b) menggunakan sociological jurisprudence . “Sociology of law” diperkenalkan oleh seorang Italia, Anzilotti, olehnya itu berkonotasi Eropa Daratan, sedangkan “Sociological Jurisprudence” diperkenalkan oleh Prof. Roscoe Pound, guru besar Harvard Law School di Amerika Serikat, olehnya itu berkonotasi Anglo Saxon.Sementara itu, “Sociology of law” adalah sosiologi tentang hukum, karena itu ia lebih merupakan cabang sosiologi. Sedangkan “sociological jurisprudence” adalah Ilmu Hukum Sosiologis, karena itu merupakan cabang ilmu hukum.Lebih jelasnya perbedaan antara “sociology of law” dan “sociological jurisprudence” (Curzon 1979: 137) :
Sociological jurisprudence. Pound refers to this as a study of the peculiar characteristics of the legal order, i.e. an aspect of jurisprudence proper. Lloyd writes of it as a branch of normative sciences, having the law more effective in action, and based on subjective values. Some other writters use the term to refer to the Sociological School of jurisprudence, that is, those jurists who see in a study of society a means whereby the science of law might be made more precice.
Sociology of law. Pound refers to this study as “sociology proper”, based on a concept of law as one of the means of sosial control. Lloyd writes of it as essentially a descriptive science employing empirical techniques. It is concerned with an examination of why the law sets about its tasks in the way it odes. It views law as the product of a sosial system and as a means of controlling and changing that system.Note: The term “legal sociology” has been used in some texts to refer to a specific study of situations in which the rules of law operate, and of behavior resulting from the operations of those rules.
Meskipun di antara “sociology of law” dan “sociological jurispridence” ada perbedaan, tetapi keduanya memiliki persamaan mendasar yaitu berkisar di dunia “sein”, di dalam realitas. Keduanya berada di dunia “is” (realm of “is”) yang adalah : “refers to a complez of actual determinants of actual human conduct”. Jadi berbeda dengan pandangan kaum positivistis yang berada di dunia”sollen” (“ought”).
Kajian sosiologis terhadap hukum menunjukkan karakter pandangan empiris. Mereka ingin melakukan pemahaman secara sosiologis terhadap fenomna hukum. Jadi, “interpretative understanding of sosial conduct” ( suatu usaha untuk memahami objeknya dari segi tingkah laku sosial), meliputi : “ causes, its course, and its effects”. Fenomena hukum dari sudut pandangan aliran sosiologis ini adalah gejala-gejala yang mengandung streotip baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis.
Kebangkitan kembali kajian-kajian sosial mengenai hukum pada dekade 1960-1970 an, diikuti juga dengan kelahiran critical legal thought generasi baru, seperti studi hukum kritis (critical legal studies-CLS). Menurut Erlyn Indarti CLS adalah salah satu dari 4 paradigma utama yaitu: Positivisme,Post-positivisme,Critical Theory et al dan Kontruktivisme[2].CLS atau Critical Theory et al sebagai salah satu aliran atau mashab dalam pemikiran hukum, kehadirannya telah menginspirasi jurisprudence-jurisprudence baru semacam feminist jurisprudence dan critical race theories. Sebagian orang menilai CLS bukan sebagai aliran pemikiran hukum melainkan hanya gerakan dalam pemikiranhukum. Sementara realisme hukum, menurut Karl Llewellyn bukan sebuah filsafat melainkan teknologi. Realisme hukum tidak lebih dari hanya sekedar teknologi.
Baik kajian-kajian sosial mengenai hukum maupun pemikiran kritis mengenai hukum sama-sama berasumsi bahwa hukum tidak terletak di dalam ruang hampa. Hukum tidak dapat eksis, dan oleh karena itu tidak dapat dipelajari, dalam ruang yang vakum.[3]
Hukum terletak dalam ruang sosial yang dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan di luar hukum. Bagi kalangan instrumentalis, hukum bahkan dianggap hanya sebagai instrumen yang mengabdi kepada kepentingan kelompok berkuasa. Pendapat ini sedikit berbeda dengan kelompok strukturalis yang , sekalipun mengakui pengaruh kekuatan di luar hukum terhadap hukum, namun menganggap hukum masih memiliki otonomi relatif. Sekalipun demikian, terdapat sedikit perbedaan antara kajian-kajian sosial terhadap hukum dengan pemikiran kritis mengenai hukum. Studi hukum perspektif sosiologis melihat hukum sebagai salah satu faktor dalam sistem sosial yang dapat menentukan dan ditentukan. Ada sejumlah istilah yang digunakan untuk menggambarkan hal ini, seperti: apply sosial science to law, sosialscientific approaches to law, disciplines that apply sosial scientific perspective to study of law. Sedangkan critical legal thought, mencoba menjelaskan hukum dengan meminjam bantuan dari ilmu-ilmu sosial.
Terdapat perbedaan mengenai daftar ilmu-ilmu sosial yang dimasukkan ke dalam cakupan studi hukum perspektif sosiologis. Sekalipun demikian, ada 5 disiplin ilmu yang selalu masuk ke dalam daftartersebut, yakni sosiologi hukum, antropologi hukum, sejarah hukum, politik hukum (hubungan politik dengan hukum) dan psikologi hukum. Terus berkembangnya minat untuk mengkaji hukum menyebabkan lahirnya disiplin-disiplin baru yang masuk ke dalam cakupan studi hukum perspektif sosiologis seperti administrasi publik.
Ilmu-ilmu sosial yang masuk ke dalam studi hukum perspektif sosiologis tergolong sebagai ilmu hukum (dalam arti luas). Ilmu hukum pun dibagi ke dalam 2 kelompok yakni: ilmu hukum normatif, yang juga popular disebut sebagai dogmatika hukum dan ilmu hukum empirik. Kelompok disiplin ilmu yang masuk ke dalam socio-legal studies, masuk ke dalam kelompok ilmu hukum empirik. Dalam konsepsi Meuwissen, ilmu hukum atau dogmatika hukum adalah disiplin hukum yang paling rendah tingkat abstraksinya. Sedangkan filsafat hukum adalah disiplin hukum yang tingkat abstraksinya paling tinggi. Di tengah-tengah ilmu hukum dan filsafat hukum terdapat teori hukum (jurisprudence). Penggolongan yang dirumuskan oleh Meuwissen tentulah bertetangan dengan pendapat yang mengatakan bahwa hampir semua disiplin ilmu yang masuk ke dalam studi hukum perspektif sosiologis adalah anak dari induknya yang nota bene adalah ilmu sosial. Sosiologi hukum adalah anak dari ilmu sosiologi. Antropologi hukum adalah anak dari antrpologi budaya dan sejarah hukum adalah anak dari ilmu sejarah.
Di awal-awal kemunculannya, studi hukum perspektif sosiologis banyak dipengaruhi oleh aliran pemikiran kiri. Teori Kritis dari Mazhab Frankfurt dan new left berkontribusi banyak pada socio-legal studies. Sekalipun ada anggapan bahwa studi hukum perspektif sosiologis banyak dipengaruhi teori-teori berhaluan kiri, namun kajian ini justru menuai kritik dari kelompok kiri sendiri. Adalah kelompok Marxist legal sociologist dari Inggris yang menuding pemikir studi hukum perspektif sosiologis sebagai kaum liberal yang karya-karyanya defisit dan konservatif. Mulai dekade 1980-an, studi hukum perspektif sosiologis banyak diwarnai juga oleh kajian-kajian post-modernisme. Studi hukum perspektif sosiologis mengembangkan konsep anti metanarasi, anti totalitas dan anti universalitas ke dalam kajian-kajian mengenai hukum. Studi hukum perspektif sosiologis mempertanyakan tafsir monolitik dari pengambil kebijakan, universalitas dari pemberlakukan undang-undang dan kebenaran dari doktrin-doktrin (metanarasi) klasik seperti rule of law dan equality before the law.[4]
Studi sosiologi berbeda dengan sosiologi hukum, dimana sosiologi hukum benih intelektualnya terutama berasal dari sosiologi arus utama, dan bertujuan untuk dapat mengkonstruksi pemahaman toritik dari sistem hukum. Ha itu dilakukan oleh para sosiolog hukum dengan cara menempatkan hukum dalam kerangka struktur sosial yang luas.
Hukum sebagai mekanisme regulasi sosial dan hukum sebagai sesuatu profesi dan disiplin, menjadi perhatian dalam studi ini. Studi ini banyak memusatkan perhatian kepada wacana hukum yang merupakan bagian dari pengalaman dalam kehidupan keseharian masyarakat. Hukum yang dimaksud adalah kaidah atau norma sosial yang telah ditegaskan sebagai hukum dalam bentuk perundang-undangan. Lingkup kajiannya adalah mengenai berfungsi atau tidaknya hukum dalam masyarakat dengan melihat aspek struktur hukum, dan aparat penegak hukum. Beberapa konsep penting yang dikaji adalah mengenai pengendalian sosial, sosialisasi hukum, stratifikasi, perubahan hukum dan perubahan sosial.

[1] AliAchmad., Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), PT. Gunung Agung Tbk, Jakarta, 2002, hal. 9,
[2] Prof. Erlyn Indarti , “PARADIGMA DAN ILMU HUKUM”,Materi di sampaikan pada diskusi berseri Menggagas Ilmu Hukum Ber-Paradigma Profetik di kampus FH UII,Yogyakarta,16 Juni 2011
[3] Kalimat ini dikutip oleh Alan Hunt dalam menjelaskan pemikiran aliran sociological jurisprudence. Pernyataan tesebut disampaikannya dalam bukunya yang berjudul, “Explorations in Law and Society Toward Constitutive Theory of Law”, Routhledge, New York, 1993, hlm.
[4] Lihat Yesmil Anwar dan Adang, Op.Cit. hal. 49.

Hukum dan Masyarakat


Pertama-pertama yang harus dikemukakan adalah pengertian dari kajian tentang hokum. Hukum adalah sebagai seluruh norma sosial yang telah diformalkan oleh institusi-institusi kekuasaan negara.Dengan demikian, menurut Soetandyo Wignjosoebroto tak salah kiranya apabila dikatakan bahwa hukum dalam modelnya sebagai undang-undang  adalah invensi negara bangsa yang terjadi di kawasan negeri-negeri Eropa Barat dalam kurun sejarah yang mengabarkan pula bangkitnya kesadaran berbangsa penduduk negeri di wilayah itu, yang kemudian daripada itu mengakhiri sejarah Eropa sebagai sejarah raja-raja. Itulah kurun waktu yuang mengatakan betapa “the making of Europe is the making of Kings and Queens no more, but the making of nations”.
Seiring dengan pertumbuhan konsep negara-negara bangsa -yang secara cepat atau lambat mengakhiri era negara-negara kerajaantelah berkonsekuensi pada kebutuhan akan suatu perangkat hukum baru, ialah hukum nasional. Mengenai perjalanan hukum dari hokum-hukum kerajaan ke hukum nasional Soetandyo mengilustrasikan sebagai berikut:[1]
Apabila hukum raja-raja dipandang sebagai hukum kaum elit-otokrat yang berbasis pada titah-titah sepihak para penguasa, hukum nasional dibenarkan sebagai hukum yang lahir dari paradigma baru, bahwa ‘suara rakyat (yang yang disatukan secara rasional lewat kesepakatan) adalah suara Tuhan’.  Vox Populi Vox Dei. Hasil kesepakatan rakyat inilah – secara langsung atau melalui wakil-wakilnya, yang kelak diinstitusionalkan lewat lembaga legislatif atau referéndum – akan dipositifkan sebagai hukum yang akan menjamin kepastian secara adil dan benar.
nurut Satjipto Raharjo, hukum dan masyarakat tidak bisa dipisahkan, bagi hukum, masyarakat merupakan sumber daya yang memberi hidup (to nature) dan menggerakkan hukum tersebut. Masyarakat menghidupi hukum dengan nilai-nilai, gagasan, konsep, disamping itu masyarakat juga menghidupi hukum dengan cara menyumbangkan masyarakat untuk menjalankan hukum. Kita mengetahui dari perspektif sosiologis hukum, hukum itu hanya bisa dijalankan melalui campur tangan manusia, sebagai golongan yang menyelenggarakan hukum, maupun mereka yang wajib menjalankan ketentuan hukum. Dengan demikian masuklah aspek perilaku manusia ke dalam hukum.
Dalam karyanya yang lain Satjipto Raharjo berpendapat bahwa hukum bekerja dengan cara memancangi perbuatan seseorang atau hubungan antara orang-orang dalam masyrakat. Untuk keperluan pemancangan tersebut, maka hukum menjabarkan pekerjaannya dalam berbagai fungsi, yaitu:[2]
a. Pembuatan norma-norma, baik yang memberikan peruntukan maupun yang menentukan hubungan antara orang dengan orang
b. Penyelesaian sengketa-sengketa
c. Menjamin keberlangsungan kehidupan masyarakat, yaitu dalam hal terjadi perubahan-perubahan sosial
Dari tiga pekerjaan hukum sebagaimana disinggung di atas dapat digolongkan sebagai sarana untuk melakukan kontrol sosial, yaitu suatu proses mempengaruhi orang-orang untuk bertingkah laku sesuai dengan harapan masyarakat. Lebih lanjut Satjipto Raharjo mengemukakan bahwa apabila proses pengontrolan sosial tersebut dihubungkan dengan bagan hubungan sibernetik dari parsons, maka tampak bahwa pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan oleh hukum itu tidak sama sekali otonom, melainkan kait-berkait dengan proses-proses lain yang berlangsung dalam masyarakat. Kait-berkait dalam arti, baik hukum itu mengontrol maupun dikontrol oleh berbagai proses dalam masyarakat ituserta bekerjanya hukum itu dikondisikan pula oleh proses-proses yang memuat energi lebih yang besar.[3]
Suatu hal yang mustahil jika hukum bisa terlepas dan otonom dari unsur-unsur yang lain, oleh karena itu dalam hal ini Sabian Ustman melihat hukum sebagai fakta sosial tidaklah dikonsepsikan sebagai suatu gejala normatif yang otonom dan atau mandiri, akan teteapi sebagai suatu institusi sosial yang selalu membumi secara riil dengan pola-pola dan atau variabel-variabel sosial yang senyatanya hidup dan berkembang serta berakar di masyarakat.[4]
Lebih lanjut Sabian berpendapat bahwa ada perbedaan mendasar anatara hukum  sebagai fakta hukum dengan hukum sebagai fakta sosial. Hukum sebagai fakta hukum spekulatif teoritis dan normatif, sementara hukum sebagai fakta sosial bersifat sosiologis’empiris,non-doktrinal dan non-normatif.
Dengan demikian dapat dikatakan bahawa hukum dan dinamika sosial adalah dua hal yang saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya. Masyarakat memberi hidup hukum sedangkan hukum mengarahkan masyarakat menuju tujunannya. Sebagaimana pandangan sosiological jurisprudence hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup didalam masyarakat. Lebih jauh aliran ini berpandangan bahwa kaitannya dengan hukum yang positif,dia hanya akan bisa efektif apabila senyatanya selaras dengan hukum yang hidup di masyarakat dan pusat perkembangan dari hukum bukanlah terletak pada badan-badan legislatif,keputusan-keputusan badan yudikatif atau ilmu hukum, tetapi senyatanya adalah justeru terletak di dalam masyrakat itu sendiri.
Hal yang senada di ungkapkan oleh Awaludin Marwan yang berpendapat bahwa hukum tidak bisa lepas dari masyarakat secara sosial , hukum dilaksanakan dibuat dan diterapkan atas mandat masyarakat. Sehingga mempelajari hukum pertama-tama hendaknya mempelajari masyarakatnya. Tidak ada hukum tampa ada masyarakat.[5]
Lebih lanjut Awaludin Marwan berpendapat bahwa hukum yang baik adalah hukum yang memiliki legitimasi moral dan politik dari masyarakat, yang berisikan keinginan, harapan, kebutuhan dan kebudayaan masyarakat. Hukum yang tidak mengandung hati nurani rakyat, maka ia bukanlah hukum yang baik dan hukum yang terkhir inilah yang harus dikritik dan dirobohkan.[6]
Kegagalan gerakan pembangunan hukum di beberapa negara berkembang dalam konteks tertentu baik dalam arus utama tidak dapat menjawab berbagai persoalan kemasyarakatan yang rumit dan tidak bisa dijawab secara tekstual dan mono disiplin dan dalam kondisi seperti itu penjelasan yang lebih mendasar dan mencerahkan bisa didapatkan secara interdisipliner. Oleh karenanyadibutuhkan suatu pendekatan hukum yang bisa menjelaskan hubungan antara hukum dan masyarakat. Dalam konteks negara yang sedang berkembang. Studi ilmu hukum harus dapat mengkombinasikan antara ilmu sosial dan ilmu hukum.
Menarik untuk disimak pendapat para ahli hukum sebagaimana penulis sebutkan di atas, hukum tidak lagi sebagai sebuah musium yang terpajang dilembaga-lembaga hukum melainkan merupakan wujud dari dinamika kehidupan sosial. Dengan berangkat dari pendapat Satjipto Raharjo Bahwa hukum adalah untuk manusia dan bukan hukum untuk hukum merupakan sebuah paradigma baru melihat dan menyikapi hukum yang keberadaannya tidak bisa mengabaikan masyarakat begitu saja.

[1] http://soetandyo.wordpress.com/2011/07/11/tentang-kajian-hukum-dan-masyarakat-sebuah-pengenalan/
[2] Lihat dalam Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perilaku, Hidup Baik adalah Dasar Hukum yang Baik,Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2009, hal. 19; lihat juga dalam Yesmil Anwar dan Adang, Pengantar Sosiologi Hukum,Jakarta: Kompas Gramedia, 2008, hal. 114
[3] Lihat Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2007, hal. 133.
[4] Sabian Usman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Yogyakarta: Pustak Pelajar, 2009.
[5] Lihat dalam Satjipto Raharjo, dkk., Satjipto Rahardjo dan Hukum Progresif: Urgensi dan Kritik,Episentrum Institute, 2011.
[6] Ibid

HUKUM SELALU TERTINGGAL SATU LANGKAH DARI PERADABAN MANUSIA


Hukum selalu teringgal satu langkah di belakang peradaban manusia,bagaimana opini saudara dengan segelintir kalimat tersebut?Akankah kita terima dan di perdaya oleh hukum?Ketika kita berbicara hukum maka kita tidak akan pernah lepas dari topik sosiologi.Keadaan sosial selalu bergerak berkembang mengikuti naluri manusia yang selalu berusaha menuju ke arah kesejahteraan.Namun demikan ketika  setiap individu didalam ruang kehidupan sosial tersebut dalam mengembangkan tindakannya untuk menuju kesejahteraan terkadang dilakukan dengan mengganggu hak dari individu yang lainya.Sehingga disini akan terjadi konflik kepentingan,oleh karena adanya hal tersebut maka hukum membatasi gerak setiap individu secara terukur dan berimbang agar setiap hak dari masing individu dapat berjalan selaras,seimbang dan tercipta keadilan untuk kesejahteraan.Konsekuensi dari adanya pembatasan hak tersebut adalah adanya kewajiban.Selain menjalankan hak-haknya maka setiap individu di dalam ruang sosial terikat oleh hukum dan di bebankan suatu kewajiban.
Hukum di formulasikan sebagai manifestasi gagasan untuk menciptakan keseimbangan antara hak dan kewajiban tersebut secara empiris.Oleh karena itu tentunya sebelum ada hukum itu ada perisitiwa yang secara harfiah melanggar norma tidak tertulis di dalam masyarakat.Sehingga di buatlah hukum untuk membuat kepastian secara preventif,protektif dan konsolidatif.Karena latar belakang pembuatan hukum itu berdasar pada fakta empiris maka hukum itu baru di buat setelah ada perisitiwa yang “tidak bisa di terima oleh masyarakat pada umumnya”.Dengan kata lain apabila belum pernah ada perisitiwa tersebut maka hukum belum ada.Keadaan seperti inilah yang penulis menyebutnya “hukum selalu tertinggal satu langkah dari peradaban manusia”.Dengan melihat keadaan social di bidang informasi,teknologi dan peradaban manusia lainnya  yang selalu berkembang akan selalu ada peristiwa baru yang sebelumnya tidak pernah terjadi.
Sementara itu hukum pidana kita mengenal adagium ‘Nula puna sine culpa preivera legipunale” yang di jadikan sebagai asas legalitas undang- undang pidana di republic ini yaitu “tidak ada suatu tindakan di nyatakan bersalah sebelum di undangkan aturan yang mengatur tentang tindakan tersebut”.Oleh karena itu hukum tidak berlaku surut,akibatnya akan banyak sekali peristiwa inpunitas seiring dengan perkembangan keadaan social yang sangat signifikan.Dalam keadaan pragmatis tersebut apakah kita akan menerima begitu saja di perdaya oleh hukum?
Keadaan seperti diatas tidak perlu terjadi apabila kita mengintepretasikan hukum sebagai skema artifisial yang tidak terbatas pada makna tekstualitasnya saja.Inti dari hukum bukanlah pada undang – undang yang secara eksplisit tertulis hitam di atas putih, namun substansinya hukum itu terdapat pada manusia yang menjalankan hukum tersebut.Selayaknya kita sebagai manusia yang di berikan kecerdasan intelektual dalam otak dan di anugrahi kecerdasan spiritual di dalam sanubari.Maka seyogyanya manusia menjalankan hukum dengan menggunakan kecerdasan spiritual dan intelektual secara selaras dan berimbang.Penegakan hukum secara positivisme yang terikat kaku pada sebuah aturan tetulis adalah merupakan pembodohan manusia oleh hukum.Karena manusia akan kehilangan kecerdasan spiritualnya yang merupakan anugrah paling istimewa yang di berikan sang pencipta.
Menafsirkan hukum secara progresif seperti yang di cetuskan oleh Prof. Satjipto Rahardjo membawa solusi untuk keluar dari belenggu hukum.Intepretasi hukum bukan pada arti sebuah kalimat saja,namun dengan pemahaman pola pikir ( Mindset ).Sehingga apabila ada peristiwa baru yang belum di atue secara eksplisit namun itu merupakan sebuah kejahatan dan sudah timbul korban.Modus dan motifnya pun jelas,maka tidak perlu menunggu sebuah aturan baru untuk membawa ke peradilan.Pemahaman seperti ini akan meminimalkan suatu peristiwa kekosongan hukum ( Inpunitas).Salah satu contoh yang pernah terjadi adalah pemahaman tentang definisi dari surat – surat sebagai alat bukti.Apakah short massage service ( SMS ) yang berupa tulisan tersebut bisa dijadikan alat bukti seperti halnya surat – surat?Sebelum adanya Undang – Undang Informasi dan Tekhnologi hal tersebut sempat di perdebatkan.Mestinya dengan pendekatan pemahaman pola pikir maka karena pada waktu menggagas KUHP dahulu belum ada kecanggihan seperti SMS dan seiring dengan perkembangan teknologi orang berkirim surat di gantikan dengan sms maka sudah tidak perlu lagi memperdebatkan peran dan fungsi SMS apakah bisa di samakan dengan surat yang dikirim lewat kantor Pos seperti jaman dulu.
Pemahaman progresif  seperti ini juga menutup celah sebagian anggota masyarakat yang menggunakan hukum sebagai alat untuk melakukan kejahatan.Kasus yang banyak terjadi dikalangan menengah adalah tunggakan utang.Karena utang piutang masuk ranah perdata maka Polisi tidak boleh campur tangan dalam hal ini.Seorang yang menunggak utang selama bertahun-tahun tak bisa di pidana hanya dengan sebuah kalimat “Besok kalau ada uang akan saya bayar”.Apakah si penunggak utang berusaha membayar utang?Atau hanya bersantai – santai menunggu lotre?Sampai kapan di Kreditur bersabar menunggu hutangnya di lunasi oleh debitur?Hukum selama ini tidak dapat merampungakan situasi kriminogen tersebut.Tindakan represif oleh siapapun tak di benarkan turut serta di lakukan untuk perkara ini sebelum adanya putusan dari pengadilan.Padahal untuk mendapatkan puusan hukum dalam kasus perdata membutuhkan biaya yang tidak sedikit,waktu yang tidak sebentar dan birokrasi yang berbelit- belit.Kasihan sekali rakyat yang akan mencari keadilan di Republik ini.
Kejahatan luar biasa harus ditangani dengan tindakan luar biasa pula.Penulis menafsirkan  kejahatan luar biasa adalah suatu kejahatan yang belum diatur oleh undang – undang.Meskipun tidak menimbulkan korban jiwa seperti kasus penunggak utang seperti diatas dapat di klasifikasikan kejahatan luar biasa.Marilah kita buka hati nurani,kita cermati perbuatan penunggak utang tersebut?Debitur yang mengambil utang dengan jaminan kepercayaan kepada kreditur namaun akhirnya membandel tidak mau membayar utang dan berlindung pada hukum dengan kalimat “Besok kalau ada uang akan saya bayar”.Secara kontradiktif itu hanya alasan tanpa ada itikad dan ikhtiar untuk melunasinya.Kejahatan seperti ini bisa di kategorikan ke dalam “Kejahatan Kepercayaan”.Kreditur juga tidak bisa berbuat apapun,melakukan tindakan penyitaan sendiri pada harta di debitur itu jelas di salahkan.Secara hukum positif bisa dikategorikan perampasan.Meskipun si kreditur substansinya hanya berniat mengambil haknya.Ini adalah celah hukum untuk berbuat kejahatan dan merupakan salah satu peristiwa inpunitas.
Mestinya kekosongan hukum untuk kasus tersebut seperti yang sekarang ini menjadi masalah tidak perlu terjadi apabila ada pemahaman secara progresif.Pernyataan “Besok kalau ada uang akan saya bayar”,itu dijadikan bukti dan dasar penyidik untuk bergerak menangani perkara ini.Kalau ternyata kemudian si debitur mempunyai uang tapi tidak membayarkan kepada kreditur,tidak kah ini termasuk penipuan atau penggelapan?Bukankah itu termasuk kejahatan kepercayaan?Meskipun secara hukum positif tidak masuk ke dalam unsur penipuan maupun penggelapan,namun kembali ke awal lagi.Terlepas dari makna kriminalisasi,maukah kita di bodohkan oleh aturan tekstualitas?Substansi dari hukum bukan pada aturan hitam diatas putihnya,namun terdapat pada pelaku hukumnya terutama Polisi,Jaksa dan Hakim.Perlu koordinasi yang kompak antar lembaga yang terkait dalam criminal justice system tersebut sehingga dapat menjerat perkara tersebut.Perlu ada keselarasan intepretasi dari perspektif dimensi yang searah di antara sesama institute penegak hukum.
Andai saja pemerintah melalui institute penegak hukumnya bertindak lebih cepat dan peka terhadap situasi kriminogen seperti diatas,maka tidak perlu Bank menyewa Debt Collector untuk menagih hutang.Tidak akan terjadi penganiayaan seperti yang di lakukan oleh Debt Collector City bank hingga meninggal dunia.Akan berapa banyak lagi perkara seperti itu terjadi?Sedangkan transaksi utang piutang di antara masyarakat yang berpotensi kriminogen seperti hal tersebut diatas setiap hari masih terjadi.Ini menjadi pekerjaan rumah para institute penegak hukum untuk segera di selesaikan,apakah mereka akan tetap bertahan pada era pemahaman positivisme? Kita tunggu jawabannya dan berharap adanya aksi eksploitasi dari para punggawa hukum di Republik ini.

DEBT COLLECTOR AROGAN,ATAU DEBITUR YANG BANDEL???


Kehidupan sosial selalu berubah dari masa ke masa,Pola budaya masyarakat kita turut beriringan mengikuti alur perubahan sosial tersebut yang secara siginifikan berkembang terseret naluri sosial dimana bergerak dan berkehendak menuju ke kesejahteraan.Kehidupan masyarakat Indonesia yang dulu sederhana serta bersahaja sekarang berubah drastis memanjakan diri menjadi kaum yang berbudaya konsumtif.Produk baru baik dari dalam negeri maupun produk import yang menjanjikan kenyamanan yang memanjakan sehingga lebih praktis , mudah dan tak bertele-tele ataupun hanya sekedar mengunggulkan kemewahan semakin banyak terlahirkan.Masyarakat kita sekarang sudah terjebak dengan janji – janji manis dari produk- produk baru yang selalu bermunculan.Adanya peluang dengan melihat animo masyarakat yang begitu antuias dengan produk baru yang menjanjikan kemudahan dan keisitimewaan itu oleh para pejuang bisnis sang kapitalis situasi tersebut di manfaatkan.Merekapun memfasilitasi masyarakat golongan tertentu yang terjebak dalam budaya konsumerisme ini untuk bisa mewujudkan mimpinya.Dengan dalih menyediakan kerjasama modal dalam bentuk barang(Bank,Leasing,Finance dll),konsumen di persilahkan memilih barang produk- produk baru kesukaannya,persyaratan mudah bunga rendah.menggiurkan sekali...Sampai disini semua masih berjalan lancar belum ada masalah kriminogen(Potensi menjadi tindak pidana) yang muncul.
Tertariklah si Udin salah seorang pemuda dengan pekerjaan serabutan di terminal bus yang notabene punya mental baja.Kampungnya yang tak terjangkau angkutan umum menyulitkan dia untuk ke terminal dimana tempat untuk mengais rizki.Atas rayuan dari SPG – SPG( Sales Promotion Girl)yang menawarkan produk kendaraan bermotor dengan uang muka rendah membuat Udin terobsesi untuk keluar keluar dari masalah transportasi yang selama ini mebebaninya.Di pilihlah salah satu produk kendaraan bermotor tawaran SPG itu,dengan bermodal uang 1 juta rupiah yang di minta dari orang tuanya.Di lengkapi dengan KTP dan fotokopi kartu keluarga dari pihak perusahaan pembiayaan kredit mendatangi rumah udin serta menyodorkan seberkas kertas perjanjian (Fidusia) untuk di tanda tangani si Udin dari keluarga yang tadinya sederhana dan bersahaja,semenjak itu pula Udin mendapat predikat baru sebagai seorang Debitur.Cicilan pertama Udin sanggup membayar,Cicilan kedua Udin tersendat,cicilan ketiga Udin terseok dan cicialn keempat Udin angkat tangan.Masalah pun timbul disini,si Udin yang bermental baja siap menghalau debt collector untuk mempertahankan kendaraan utangan itu.
Itulah sekelumit prosa yang mendeskripsikan permasalahan social,dimana keadaan tersebut rentan untuk berkembang menjadi situasi kriminogen.Contoh nyata yang baru saja terjadi yaitu tindakan arogan dari debt collector salah satu bank swasta yang menagih tunggakan utang kartu kredit sebesar Rp. 68.000.000,- namun karena belum sanggup membayar di indikasi ada tindak kekerasan yang mengakibatkan si tertagih meninggal dunia.Sampai saat ini kasus tersebut masih dalam proses penyidikan Polisi.Polisi dalam hal ini bertindak setelah timbul adanya korban jiwa bahkan sampai meninggal dunia.Polisi bukan menyidik pelaku sebagai seorang debt collector tapi dalam posisinya sebagai tersangka pembunuhan.Sehingga kalau saja tidak terjadi pembunuhan maka polisi hanya menjadi penonton di panggung sosial,meskipun di panggung tersebut telah terjadi kegelisahan masyarakat karena akibat dari perjanjian fidusia.
Polisikah yang salah karena tidak sanggup megamankan wilayahnya?Korbankah yang salah karena ingin menyempurnakan cara hidupnya menjadi lebih mudah?Atau kaum kapitaliskah yang salah karena memberikan bantuan modal kepada pihak yang membutuhkan?Disini di perlukan keaktifkan hukum merespon masalah sosial.Namun perlu di cermati disini,Hukum di konsepkan untuk Manusia,bukan Manusia yang di ciptakan untuk Hukum.Naluri manusia yang selalu bergerak progresif untuk menuju kearah kesejahteraan tidak boleh di kekang oleh hukum,namun  sebaliknya hukum itu ikut mengalir bersama naluri kemanusiaan tersebut sehingga substansi kesejahteraan tersebut dapat tercapai.Disini hukum di perlukan seabagai pengawal menuju proses kesejahteraan masyarakat.Biarkan si Udin berusaha keluar dari masalah transportasi yang mengikatnya.Ikuti langkah kaum kapitalis untuk menolong sebagian masyarakat yang membutuhkan dana pinjaman.Namun ketika terjadi konflik pernjanjian di antara keduanya,hukum harus segera merespon sehingga kewajiban dan hak yang mereka sandang dapat berjalan seimbang.
Pemerintah tidak boleh hanya menjadi penonton kegelisahan masyarakat yang kini sudah menjadi situasi kriminogen.Permasalahan utang piutang berujung pada tindak kekerasan.Atau berlindung pada perjanjian fidusia,si Udin mental baja siap menghalau debt collector yang akan menarik kendaraan bermotor utangnya.Udin berkeyakinan ini adalah masalah perdata “Besok kalau saya punya duit,akan saya lunasi”.Tapi entah kapan si Udin punya dana untuk melunasi utang – utangya juga tidak ada kepastian.Tidak menjadi rahasia umum,sebagian golongan masyarakat telah terbiasa bermain dengan kredit kendaraan bermotor seperti itu,mereka pun sudah punya kiat untuk membohongi hukum.Dengan pegangan satu pasal 36 ayat (2) UU HAM,tidak seorang pun boleh di rampas hak miliknya dengan sewenang dan secara melawan hukum.
Meskipun tidak seluruhnya,namun dalam kendaraan bermotor hasil utangan tersebut Udin mempunyai hak kepemilikan karena sudah membayar uang muka dan cicilan pertama.Apabila di perlakukan sewenang- wenang oleh debt collector,Udin bisa saja melapor ke polisi dengan berlindung pada pasal tersebut.Dan Pak Polisi selain menerapkan pasal tersebut juga bisa menerapkan pasal perampasan pasal 368 KUHP,”Barang siapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum,memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan sesuatu barang,yang sebagian atau seluruhnya adalah kepunyaan orang itu atau orang lain...”.Apabila situasinya memang demikian,maka polisi di bohongi secara intelektual menjadi pelindung debitur bandel.Lagi-lagi Polisi dapat bergerak dengan payung hukum setelah terjadi konflik kepentingan masyarakat yang disertai kekerasan baik fisik maupun psikis.
Apakah tidak ada langkah lain untuk keluar dari masalah social tersebut dengan tindakan pre-emtif,preventif dan tidak mulu-mulu menggunakan tindakan represif.Dalam hal ini Polisi di batasi dengan pasal 5 huruf (h) PP No.2 tahun 2003 dimana Polri tidak di perbolehkan menjadi penagih utang atau pelindung yang punya utang.Namun pasal  tersebut tidak seharusnya mematakan langkah Polri untuk menjaga keseimbangan ketentraman dan ketertiban masyarakat.Polri sebagai Pelindung,pengayom dan pelayan masyarakat yang berada pada garis terdepan dimana langsung bersentuhan dengan masyarakat,wajib untuk bertindak ketika mendapati permasalahan social apalagi sampai pada tingkat potensi kriminogen.Tidak ada regulasi eksplisit yang memberikan kewenangan terhadap Polri untuk menjadi mediator masalah utang pituang.Kita sebagai manusia yang berakal dan berhati nurani,tidak sepantasnya di permainkan oleh skema artifisial berupa undang-undang tekstualitas.Kita perlu mengintepretasikan cara berhukum yang cerdas secara spiritual maupun intelektual.Apakah adil apabila Udin tidak mau menyerahkan sepeda motor utanganya meskipun sudah menunggak 2 tahun semenjak cicilan pertama di bayarkan?Apakah adil perilaku Debt collector arogan yang mengambil barang utangan dengan paksa?Dilematis memang,situasi pragmatis seperti itu perlu turut campur pemerintah.
Pemerintah bisa bertindak setelah mendapat payung hukum.Pemerintah dalam hal ini Polisi sebagai ujung tombak untuk menjaga kemanan dalam negeri sebagai pelindung,pengayom dan pelayan masyarakat seharusnya dapat bertindak lebih cepat.Meskipun belum terdapat regulasi eksplisit yang mengatur tentang mediasi utang piutang,namun kalau kita bisa menafsirkan UU secara progresif.Sebagai langkah antisipatif agar supaya hukum tidak pernah tertinggal satu langkah di belakang peradaban manusia.Agar jangan sampai terjadi situasi inpunitas sehingga manusia di bodohkan oleh hukum.Polisi mempunyai kewenangan deskresi kepolisian seperti yang di atur dalam pasal 18 ayat (1) UU No 2 tahun 2002, untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaianya sendiri.
Dengan pegangan satu payung hukum tersebut,Polisi dalam tugas dan wewenangnya menjaga keseimbangan ketertiban dan ketentraman bermasyarakat serta melindungi,mengayomi dan melayani masyarakat dapat melakukan upaya mediasi dalam kasus utang piutang sebelum berkembang menjadi situasi kriminogen.Perlu di cermati disini,bahwa sebagai mediator berbeda dengan sebagai penagih utang seperti yang di atur dalam Pasal 5 PP no 2 Tahun 2003.Namun karena pemahaman yang positivistic legalis anggota Polri dalam mencermati hal tersebut tidak berani mengambil langkah dengan berpayung pada kewenangan deskresi.Meskipun tidak mempunyai kewenangan upaya paksa dalam proses mediasi tersebut,tapi setidaknya ada upaya penyelesaian untuk keluar dari situasi kriminogen ini.Apabila upaya mediasi yang di fasilitasi Polri ini tidak mempan,maka selanjutnya Polri pun harus berperan aktif membantu masyarakat dengan meberikan pengetahuan dan tuntuan terhadap perkara tersebut.Karena upaya mediasi yang gagal,pihak yang di rugikan yaitu kreditur dapat melapor ke pengadilan agar supaya haknya yang di bawa oleh debitur mendapat solusi yang mempunyai kekuatan hukum.Selanjutnya pengadilan dapat memberikan somasi kepada debitur agar segera melunasi utangnya dan apabila dalam jangka waktu tertentu tidak kunjung di lunasi juga maka bisa di lakukan penyitaan.Namun untuk sampai ke tahapan itu kreditur akan menghadapi birokrasi yang bertele-tele sehingga cara ini di anggap tidak efektif.
Menurut pendapat penulis bukan sebagai orang yang pandai,namun kredibilitasnya sebagai rakyat yang gelisah dengan situasi kriminogen tersebut perlu di buat regulasi eksplisit yang mendukung penerapan kewenangan deskresi kepolisian tersebut diatas berubah menjadi kewenangan legalis,Bukan pada level Undang-Undang namun cukup pada tingkat Peraturan Pemerintah ,sehingga Polri yang mengerti persis keadaan sosial berikut masalah yang terjadi di tengah-tengah masyarakat memiliki payung hukum yang jelas sehingga dapat menempatkan dirinya sebagai mediator utang piutang bukan sebagai penagih piutang atau pelindung utang.Perlu ada batasan kewenangan namun juga ada jaminan kepastian hukum atas langkah- langkahnya sehingga tidak terjerat dengan pasal 5 PP no 2 tahun 2003.(kkh/02411)

Penegakan Hukum atau Penegakan Undang – Undang? (Polisi Dan Keadilan restoratif)


Belakangan ini semakin banyak saja muncul ketidak adilan dalam supremasi hukum sebagai akibat penafsiran hukum secara positivisme.Rasionalisasi hukum yang identik dengan tesktualisasi artifisial tersebut mendorong timbulnya cara berhukum yang di dasarkan pada teks.Tekstualisasi telah membawa substansi hukum yang natural menjadi sekedar sebuah skema  rasional yang membuat hukum itu mati.Sampai kapankah kita terjebak dalam situasi dimana hukum kehilangan kompasnya?Apakah kita akan membiarkan hukum tersesat dan kehilangan arah?
                Melalui artikel pendek ini Penulis akan mencoba mengurai apakah itu hukum? Mengapa harus ada hukum?Hukum bertujuan untuk apa?Sudah benarkah interpretasi para penegak hukum terhadap substansi hukum kita?Bagaimana implementasi penegak hukum dalam mencapai keadilan?Hendaknya perlu di luruskan kembali bahwa penegakan hukum bukan sekedar penegakan  undang undang.
                Hukum lahir di dalam suatu masyarakat yang ber-Etika untuk menuju keadilan sehingga di buatlah suatu konfigurasi  aturan yang seimbang dan terukur untuk menuju kesejahteraan dan ketentraman hidup Dari kalimat tersebut dapat di simpulkan bahwa hukum adalah manifestasi dari upaya masyarakat yang ber-etika dan bermartabat.Hukum harus ada sehingga tujuan masyarakat yang memimpikan kesejahteraan dan ketentraman dapat tercapai.Undang- undang diciptakan sebagai perahu hukum untuk menuju dermaga keadilan dan penegak hukum di berikan amanah untuk menjadi nahkoda perahu hukum  yang mebawa penumpang masyarakat pemuja keadilan tersebut, sehingga sampai ke keadilan sosial yang diimpikan.Perlu di tekankan disini bahwa penegak hukum bukanlah penegak undang – undang.Apabila terjadi kebocoran perahu di tengah samudra sebelum sampai ke dermaga,apakah yang harus di lakukan oleh nahkoda?apakah akan mempertahankan perahu atau menyelamatkan penumpang dengan sekoci sekoci kecil sehingga penumpangnya selamat sampai ke dermaga keadilan?Undang-undang adalah skema artifisial berupa serangkaian kalimat yang tergagas untuk menuju keadilan.Sebaik apapun gagasan yang di skemakan dalam Undang – undang tersebut akan selalu ada kemungkinan predisposisi kebocoran ketika di terapkan di dalam masyarakat.Sehingga di sini perlu penafsiran progresif dari para penegak hukum untuk menyingkapi keadaan yang luar biasa tersebut.Menurut penulis, penegakan undang – undang secara kaku akibat dari pemahaman yang dangkal tersebut sama dengan mempertahankan perahu bocor dan kemudian tenggelam seperti analogi diatas.Drama hokum seperti itulah yang sementara ini dominan terjadi di Republik ini.
                Atas dasar pemikiran tersebut maka POLRI sebagai salah satu bagian Cryminal Justice System(CJS) mengemban fungsi penyelidikan dan penyidikan harus jeli dalam menganalisa keadilan.Polri dituntut tidak hanya mengedepankan kecerdasan intelektual saja ketika menganalisa sebuah perkara.Tapi juga harus melibatkan kecerdasan spiritualnya sehingga keadilan yang merupakan tujuan substantif dari hukum itu benar – benar tercapai.Begitu banyak perkara yang dirasa tidak mencapai keadilan ketika undang – undang sebagai konfigurasi norma positif di terapkan secara kaku.Satu contoh misalnya kecelakaan lalu lintas tunggal mengakibatkan korban meninggal dunia yang notabene korbannya adalah si anak sedangkan pengendara yang di jadikan tersangka adalah bapak kandung.Sudah jatuh tertimpa tangga masih terinjak – injak pula.Bagaimana perasaan seorang bapak kandung yang anaknya meninggal dunia karena kealpaannya?Sudah merasa sakit fisik karena kecelakaan,beban mental yang luar biasa karena anaknya meninggal dunia,masih harus berurusan dengan prosedur hukum yang tentunya menghabiskan banyak pengorbananan baik dari determinasi pikiran,waktu serta materiil.Belum lagi permasalahan kompleks yang akan di hadapi oleh keluarganya,siapa yang akan mencari nafkah ketika si bapak berada dalam penjara?Bagaimanakah nasib istri dan anak anaknya yang lain?Lebih buruk lagi ini bisa menjadi salah satu determinasi sosial kriminogen atau berpotensi menimbulkan kejahatan baru karena keadaan ekonomi yang terpuruk.
                Terlepas dari kalimat kaku yang terkonsepkan dalam undang – undang,dibutuhkan kecerdasan spiritual dari penyidik untuk menginterpretasikan susunan kalimat yang di tuliskan dalam undang – undang itu.Keadilan restorative di mana menempatkan keadilan untuk kesejahteraan sebagai tujuan utama dalam berhukum menawarkan solusi yang mempunyai nilai filosofis sesuai dengan jiwa bangsa timur (Indonesia).Istilah mediasi pidana menjadi sekoci kecil ketika terjadi kebocoran skema artifisial sehingga keadilan yang membawa kesejahteraan bisa tercapai.Atas dasar permasalahan kemanusiaan dan determinasi sosiologis maka di butuhkan keberanian penyidik untuk bertindak luar biasa dengan cara tidak melanjutkan sampai ke tahap penuntutan terhadap peristiwa tersebut.Penyidik dalam hal menjadi tumpuan utama agar keadilan di Republik ini benar benar di tegakan secara substansial.Seperti yang di kemukakan oleh Begawan sosiologi hukum  Prof.Satjipto Raharjo “Di tangan-tangan perilaku polisi itulah hukum menemukan makna yang sebenarnya”.Tentu saja pembuat hukum tidak berencana untuk membuat kegaduhan tersebut,oleh sebab itulah di perlukan dikresi kepolisian yang di atur dalam pasal 18 UU no 2 tahun 2002.Polisi mempunyai kewenangan untuk bertindak luar biasa untuk menegakan keadilan yang substantive.Apalagi selain sebagai penegak hukum Polri juga mengemban fungsi sebagai pelindung,pelayan dan pengayom masyarakat.
                Bercermin dari pengalaman di atas,tentu tidak hanya ada satu peristiwa yang terjadi akibat kebocoran skema artifisial tersebut.Sehingga pemikiran progresif seperti yang di gagas oleh Prof.Satjipto Rahardjo menjadi sekoci – sekoci kecil penyelamat bangsa kita menuju ke dermaga keadilan.Menindak lanjuti konsep peristiwa serupa maka Polri membentuk Forum Kemitraan Polisi Masyarakat (FKPM) yang beranggotakan beberapa anggota masyarakat  sebagai wadah untuk sarana akomodasi menuju mediasi pidana di tingkat desa.Program yang di canangkan Polri ini sudah berjalan optimal di sebagian kecil wilayah Indonesia namun di bebarapa daerah lain masih tidur ayam atau bahkan mati tanpa aktivitas.Kiranya tekad dari Polri untuk menegakan hukum berbasis keadilan tak akan bisa terwujud tanpa adanya peran aktif dari masyarakat untuk mewujudkan keadilan dan  kesejahteraan.Kita harus menanggalkan sifat apatis dalam berhukum,sekecil apapun peristiwa yang terjadi di lingkungan kita itu adalah tanggung jawab kita untuk peduli dan turut andil dalam menjaga keamanan,ketertiban dan ketentraman.Jangan biarkan hukum kita berjalan sesat karena penafsiran yang dangkal terhadap peraturan normatif,mari kita jaga dan turut mengontrol kerja penegak hukum serta melakukan gerakan sadar hukum mulai dari diri kita sendiri,keluarga dan lingkungan kita.Semoga Pancasila sila ke-5 “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” dapat terwujud. 

PENCUCIAN OTAK PARA PROFESIONAL HUKUM


Pencucian otak para professional hokum,begitu kira-kira istilah yang di gunakan oleh Prof.Satjipto Raharjo sebagai Begawan sosiologi hokum di Republik ini ketika mendeskripsikan para mahasiswa yang belajar ilmu hokum di Universitas-Universitas.Para mahasiswa mengalami apa yang di sebut “Pencucian otak”.Karena melalui proses pendidikan hokum tersebut para calon professional hokum memasuki dunia baru yang sangat berbeda dengan sebelumnya.Mereka di cekoki dengan pikiran-pikiran,konsep-konsep sebagai hasil pembelajaran.Dunia dan kehidupan berubah menjadi sebuah skema artifisial sehingga semua peristiwa selalu di pandang dari dimensi hokum.
                Setelah terlahir dan menjadi professional hukum,mereka muncul sebagai kelompok yang unik,karena teori-teori yang di peroleh selama pembelajaran hukum seolah-olah menyedimentasi pikiran mereka yang masih polos dan beralih menjadi suatu pola dan cara berpikir tertentu (mindset) para professional di bidang hukum
                Mereka yang semula mempunyai jiwa sosial tinggi setelah melalui pendidikan hukum seolah rasa keibaan mereka hilang.Sensitivitas kecerdasan spiritual mereka menurun secara signifikan tertutup oleh bayang-bayang skema hukum.Pembelajaran hukum bagi para professional tersebut adalah pendidikan atau program professional,yang biasa disebut pendidikan hukum stratum satu di fakultas hukum.Pendidikan ini berkonsentrasi pada penyiapan mahasiswa agar nanti mampu bekerja sebagai seorang professional.Hal yang sangat penting dan mendasar disini adalah menerima hukum positif sebagai dokumen yang benar dan pasti.Mereka tidak boleh ragu – ragu mengenai hal itu.
                Kebutuhan tersebut menyebabkan mereka dididik untuk mempercayai hukum dengan penuh kepastian dan menerapkannya secara kaku.bagi mereka pengetahuan dan ketrampilan (skill) adalah segala-galanya.Sebagai konsekuensinya,di tangan mereka hukum sudah berubah menjadi alat yang pasti,bahkan sering diibaratkan memainkan angka-angka seperti dalam matematika.Para professional hukum sangat mengandalkan logika dan menalar dengan silogisme.Secara ekstreem mereka di ibaratkan mesin otomatis.
                Peraturan,dokumen,pasal-pasal hukum di terima dan di perlakukan bagaikan benda-benda yang di jalankan dengan prinsip-prinsip logika dan silogisme.Disisi lain ,pikiran kritis yang melihat kenyataan dalam masyarakat,melihat ikon para professional tersebut lebih sebagai mitos daripada kenyataan.Pendidikan hukum yang memberikan pembelajaran secara professional harus menciptakan peralatan atau kelengkapanya sendiri,sehingga para professional nanti dapat bekerja dengan menggunakan peralatan yang pasti.Peralatan tersebut adalah konsep, doktrin, fiksi, cara berpikir, dan lain lain.Dengan demikian,para professional hukum telah menciptakan dunianya sendiri yang baru,yang berbeda dengan kehidupan yang alami.
                Oleh karena para mahasiswa berangkat dari pengalaman hidup dalam dunia alami,maka mereka harus mengalami indoktrinasi untuk mengubah alam pikiran (mindset) yang lama itu sehingga menjadi alam pikiran yang baru.Prof.Satjipto Raharjo menamakanya sebagai dunia skema dan skeleton yang mereduksi keutuhan kehidupan yang alami.
                Bantuan dan pelayanan hukum sudah berkembang menjadi sebuah korporasi besar yang melibatkan praktik dalam bentuk unit-unit yang besar.Para klien juga terdiri dari perusahaan-perusahaan besar.Mereka ini dilayani oleh tim-tim professional hukum.Ini disebut sebagai “Mega lawyering”. Jasa pelayanan hukum dilihat sebagai produk yang di jual.Para klien di bebani biaya sesuai dengan jumlah jam yang di habiskan untuk pertemuan klien dengan seorang lawyer yang ditugaskan menangani perkara.
Dalam suasana yang demikian itu atmosfer kemuliaan pekerjaan bantuan hokum sudah di kesampingkan.Pekerjaan para professional hukum sudah seperti bisnis.Law firms are becoming more like businesses anf less like clubs.Pekerjaan bantuan hokum sudah lebih merupakan fasilitas bisnis, yang melihat bagaimana sesuatu dimainkan daripada mengobati penderitaan manusia dan menolong orang.Di Indonesia,bentuk bantuan hokum dan kantor-kantor advokat besar juga muncul yang terkadang menempati satu lantai penuh dari sebuah gedung mewah.

BAHAYA LATEN VIRUS PLAGIARISME


Opini apa yang terlintas dalam benak pembaca sekalian ketika mendengar kata Plagiarisme atau penjiplakan? Kerugian apa yang terbayangkan dengan tindakan yang kini menjadi budaya konvensional di berbagai celah ruang untuk berkarya.Akibat tidak langsung apa yang ditimbulkan oleh tindakan ini yang kalau boleh saya sebut sebuah kejahatan pemikiran. Ironis sekali,dalam masa awal kebangkitan peningkatan sumber daya manusia(SDM) secara signifikan justru banyak sekali karya karya plagiarisme.Mulai dari bidang karya seni  terdapat nada plagiarisme bahkan penjiplakan 100% atau full body plagiaris,di dunia bisnis terdapat system yang di plagiariskan bahkan pada motif dan warna juga di jiplak sehingga menyerupai barang aslinya sehingga konsumen terkecoh(red: Penipuan dengan Warna dan symbol minimarket),sampai ke ranah edukasi  yang seharusnya menjadi suri tauladan bagi lapisan masyarakat juga sarat budaya plagiarisme ini.Banyak sekali di bumi kandung kampus yang substansinya adalah rahimnya orang-orang intelektual yang menggodog calon sarjana untuk membangun negeri tercinta kita ini di warnai dengan karya ilmiah pragiaris.Mulai dari tugas harian berupa artikel,makalah sampai ke tugas akhir berupa skripsi atau bahkan tesis dan desertasi pun tak luput dari virus plagiaris ini.
                Sekelumit kalimat di atas hanya mampu menggambarkan keadaan budaya plagiaris yang kian menyengat merasuk ke kehidupan sehari hari kita dan bukan merupakan hal tabu tapi di anggap konvensional.Terlepas dari kesuksesan maya yang di dapat dari artifisial plagiaris tersebut tersimpan bahaya laten yang tertidur berselimutkan lapisan sedimentasi rasa malu yang mengelupas dimana seharusnya menjadi roh kebudayaan timur kita.Penullis membagi golongan bahaya akibat artifisial plagiaris ini menjadi tiga golongan.
                Akibat subyektif,ini di rasakan oleh pelaku yang melakukan penjiplakan itu.Meskipun nyata terlihat terdapat keuntungan dari hasil jiplakan itu namun hakikatnya dia kehilangan naluri kreativitasnya.Dan akhirnya mengidap penyakit Syindrom KEREaktif(Kere bahasa jawa = miskin),karena kebiasaan plagiaris itu si subyek kehilangan stimulant guna menggerakan otaknya untuk terus berkarya akibatnya menjadi miskin produk.Padahal sebenarnya tanpa ada sifat malas yang mendompleng dari budaya plagiaris,sehingga mengubur kemampuan yang sebenarnya.
                Selanjutnya adalah akibat obyektif,obyek itu sendiri terbagi menjadi obyek si pencipta karya seni selanjutnya penulis menyebutnya obyek aktif dan obyek yang kedua adalah obyek hasil karya seni yang di jiplak selanjutnya di sebut obyek pasif.Pihak obyek aktif disini menanggung banyak sekali kerugian,terutama pada penghargaan buah karyanya.Seharusnya mendapatkan royalty berupa penghargaan financial atas haknya sebagai insentive untuk berkreasi lebih maju.Namun tindakan plagiarisme sebagai manifestasi dari budaya barbarisme (istilah dari Ortega,sosiolog hukum) telah merampas surga dari para kreator yang produktif itu.
                Dan yang terakhir adalah akibat obyektif pasif,obyektif pasif adalah artifisial yang telah di ciptakan oleh si kreator yang sebenarnya.Karena hasil karya yang aslinya di bajak,akhirnya bermunculan artifisial-artifisial yang tidak berkualitas seperti aslinya.Bahkan jika di korelasikan dengan akibat obyektif aktif dimana sang kreator kehilangan stimulant untuk berkarya bisa mengakibatkan pembunuhan artisial yang berkualitas sebelum terlahir.Dengan begitu para penikmat artifisial akan kekurangan stock artifisial yang benar benar berkualitas.Kita sebagai konsumen yang menikmati artisial tidak ada salahnya ikut turut andil dalam memberantas virus plagiarisme ini mulai dari diri kita sendiri,keluarga,merambah  ke komunitas kecil dan lebih luas lagi ke public society.(kkh/31411)