Rabu, 15 Februari 2012

BAHAYA LATEN VIRUS PLAGIARISME


Opini apa yang terlintas dalam benak pembaca sekalian ketika mendengar kata Plagiarisme atau penjiplakan? Kerugian apa yang terbayangkan dengan tindakan yang kini menjadi budaya konvensional di berbagai celah ruang untuk berkarya.Akibat tidak langsung apa yang ditimbulkan oleh tindakan ini yang kalau boleh saya sebut sebuah kejahatan pemikiran. Ironis sekali,dalam masa awal kebangkitan peningkatan sumber daya manusia(SDM) secara signifikan justru banyak sekali karya karya plagiarisme.Mulai dari bidang karya seni  terdapat nada plagiarisme bahkan penjiplakan 100% atau full body plagiaris,di dunia bisnis terdapat system yang di plagiariskan bahkan pada motif dan warna juga di jiplak sehingga menyerupai barang aslinya sehingga konsumen terkecoh(red: Penipuan dengan Warna dan symbol minimarket),sampai ke ranah edukasi  yang seharusnya menjadi suri tauladan bagi lapisan masyarakat juga sarat budaya plagiarisme ini.Banyak sekali di bumi kandung kampus yang substansinya adalah rahimnya orang-orang intelektual yang menggodog calon sarjana untuk membangun negeri tercinta kita ini di warnai dengan karya ilmiah pragiaris.Mulai dari tugas harian berupa artikel,makalah sampai ke tugas akhir berupa skripsi atau bahkan tesis dan desertasi pun tak luput dari virus plagiaris ini.
                Sekelumit kalimat di atas hanya mampu menggambarkan keadaan budaya plagiaris yang kian menyengat merasuk ke kehidupan sehari hari kita dan bukan merupakan hal tabu tapi di anggap konvensional.Terlepas dari kesuksesan maya yang di dapat dari artifisial plagiaris tersebut tersimpan bahaya laten yang tertidur berselimutkan lapisan sedimentasi rasa malu yang mengelupas dimana seharusnya menjadi roh kebudayaan timur kita.Penullis membagi golongan bahaya akibat artifisial plagiaris ini menjadi tiga golongan.
                Akibat subyektif,ini di rasakan oleh pelaku yang melakukan penjiplakan itu.Meskipun nyata terlihat terdapat keuntungan dari hasil jiplakan itu namun hakikatnya dia kehilangan naluri kreativitasnya.Dan akhirnya mengidap penyakit Syindrom KEREaktif(Kere bahasa jawa = miskin),karena kebiasaan plagiaris itu si subyek kehilangan stimulant guna menggerakan otaknya untuk terus berkarya akibatnya menjadi miskin produk.Padahal sebenarnya tanpa ada sifat malas yang mendompleng dari budaya plagiaris,sehingga mengubur kemampuan yang sebenarnya.
                Selanjutnya adalah akibat obyektif,obyek itu sendiri terbagi menjadi obyek si pencipta karya seni selanjutnya penulis menyebutnya obyek aktif dan obyek yang kedua adalah obyek hasil karya seni yang di jiplak selanjutnya di sebut obyek pasif.Pihak obyek aktif disini menanggung banyak sekali kerugian,terutama pada penghargaan buah karyanya.Seharusnya mendapatkan royalty berupa penghargaan financial atas haknya sebagai insentive untuk berkreasi lebih maju.Namun tindakan plagiarisme sebagai manifestasi dari budaya barbarisme (istilah dari Ortega,sosiolog hukum) telah merampas surga dari para kreator yang produktif itu.
                Dan yang terakhir adalah akibat obyektif pasif,obyektif pasif adalah artifisial yang telah di ciptakan oleh si kreator yang sebenarnya.Karena hasil karya yang aslinya di bajak,akhirnya bermunculan artifisial-artifisial yang tidak berkualitas seperti aslinya.Bahkan jika di korelasikan dengan akibat obyektif aktif dimana sang kreator kehilangan stimulant untuk berkarya bisa mengakibatkan pembunuhan artisial yang berkualitas sebelum terlahir.Dengan begitu para penikmat artifisial akan kekurangan stock artifisial yang benar benar berkualitas.Kita sebagai konsumen yang menikmati artisial tidak ada salahnya ikut turut andil dalam memberantas virus plagiarisme ini mulai dari diri kita sendiri,keluarga,merambah  ke komunitas kecil dan lebih luas lagi ke public society.(kkh/31411)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar