Rabu, 15 Februari 2012

Perbuatan Melawan Hukum


Disebutkan dalam Pasal 362 KUHP bahwa :
Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.

Pencurian mempunyai beberapa unsur yaitu:
1.   Unsur objektif, terdiri dari:
a.         Perbuatan mengambil
b.        Objeknya suatu benda
c.         Unsur keadaan yang menyertai/melekat pada benda, yaitu benda tersebut sebagian atau seluruhnya milik orang lain.
2.  Unsur-unsur subjektif, terdiri dari:
a.         Adanya maksud
b.        Yang ditujukan untuk memiliki
c.         Dengan melawan hukum
Suatu perbuatan atau peristiwa, baru dapat dikualifisir sebagai pencurian apabila terdapat semua unsur tersebut diatas.[1] 
Dari adanya unsur perbuatan yang dilarang mengambil ini menunjukkan bahwa pencurian adalah berupa tindak pidana formil. Mengambil adalah suatu tingkah laku positif/perbuatan materiil, yang dilakukan dengan gerakan-gerakan otot yang disengaja yang pada umumnya dengan menggunakan jari-jari dan tangan yang kemudian diarahakan pada suatu benda, menyentuhnya, memegangnya, dan mengangkatnya lalu membawa dan memindahkannya ketempat lain atau kedalam kekuasaannya.
Sebagaimana banyak tulisan, aktifitas tangan dan jari-jari sebagaimana tersebut di atas bukanlah merupakan syarat dari adanya perbuatan mengambil. Unsur pokok dari perbuatan mengambil adalah harus ada perbuatan aktif, ditujukan pada benda dan berpindahnya kekuasaan benda itu ke dalam kekuasaannya. Berdasarkan hal tersebut, maka mengambil dapat dirumuskan sebagai melakukan perbuatan terhadap suatu benda dengan membawa benda tersebut ke dalam kekuasaannya secara nyata dan mutlak.
Unsur berpindahnya kekuasaan benda secara mutlak dan nyata adalah merupakan syarat untuk selesainya perbuatan mengambil, yang artinya juga merupakan syarat untuk menjadi selesainya suatu pencurian secara sempurna.
Kekuasaan benda apabila belum nyata dan mutlak beralih ke tangan si petindak, pencurian belum terjadi, yang terjadi barulah percobaan mencuri. Dari perbuatan mengambil berakibat pada beralihnya kekuasaan atas bendanya saja, dan tidak berarti juga beralihnya hak milik atas benda itu ke tangan petindak. Oleh karena untuk mengalihkan hak milik atas suatu benda tidak dapat terjadi dengan perbuatan yang melanggar hukum, melainkan harus melalui perbuatan-perbuatan hukum, misalnya dengan jalan jual beli, hibah dan lain sebagainya.[2]
Bilamana dapat dikatakan seseorang telah selesai melakukan perbuatan mengambil, atau dengan kata lain ia dalam selesai memindahkan kekuasaan atas sesuatu benda dalam tangannya secara mutlak dan nyata. Orang yang telah berhasil menguasai suatu benda, ialah bila ia dapat melakukan segala macam perbuatan terhadap benda itu secara langsung tanpa harus melakukan perbuatan lain terlebih dahulu.
Mengenai pembentukan pasal 362 KUHP adalah terbatas pada benda-benda bergerak (rorend goed) dan benda-benda berwujud (stoffelijk goed). Benda-benda tidak bergerak, baru dapat menjadi objek pencurian apabila telah terlepas dari benda tetap dan menjadi benda bergerak. Benda bergerak adalah setiap benda yang berwujud dan bergerak ini sesuai dengan unsur perbuatan mengambil. Benda yang kekuasaannya dapat dipindahkan secara mutlak dan nyata adalah terhadap benda yang bergerak dan berwujud saja.
Benda tersebut tidak perlu seluruhnya milik orang lain, cukup sebagian saja, sedangkan yang sebagian milik petindak itu sendiri. Seperti sebuah sepeda milik A dan B, yang kemudian A mengambilnya dari kekuasaan B lalu menjualnya. Akan tetapi bila semula sepeda tersebut telah berada dalam kekuasaannya kemudian menjualnya, maka bukan pencurian yang terjadi melainkan penggelapan.[3]
Jadi benda yang dapat menjadi obyek pencurian ini haruslah benda-benda yang ada pemiliknya. Benda-benda yang tidak ada pemiliknya tidak dapat menjadi objek pencurian. Mengenai benda-benda yang tidak ada pemiliknya ini dibedakan antara:
1.         Benda-benda yang sejak semula tidak ada pemiliknya, disebut res nulius, seperti batu di sungai, buah-buahan di hutan.
2.         Benda-benda yang semula ada pemiliknya, kemudian kepemilikannya itu dilepaskan, disebut resderelictae. Misalnya sepatu bekas yang sudah dibuang di kotak sampah.
Mengenai apa yang dimaksud dengan hak milik ini, adalah suatu pengertian menurut hukum, baik hukum adat maupun menurut hukum perdata. Walaupun pengertian hak milik menurut hukum adat dan menurut hukum perdata pada dasarnya jauh berbeda, yaitu sebagai hak yang terkuat dan paling sempurna, namun karena azas dalam peralihan hak itu berbeda, menyebabkan kadang-kadang timbul kesulitan untuk menentukan siapa pemilik dari suatu benda.
Maksud untuk memiliki terdiri dari dua unsur, yakni pertama unsur maksud (kesengajaan sebagai maksud/opzetals oogmerk), berupa unsur kesalahan dalam pencurian, dan kedua unsur memiliki. Dua unsur itu dapat dibedakan dan tidak terpisahkan. Maksud dari perbuatan mengambil barang milik orang lain itu harus ditujukan untuk memilikinya.
Dari gabungan kedua unsur itulah yang menunjukkan bahwa dalam tindak pidana pencurian, pengertian memiliki tidak mensyaratkan beralihnya hak milik atas barang yang dicuri ke tangan petindak, dengan alasan, pertama tidak dapat mengalihkan hak milik dengan perbuatan yang melanggar hukum, dan kedua yang menjadi unsur pencurian ini adalah maksudnya (subjektif) saja.
Sebagai unsur subjektif, memiliki adalah untuk memiliki bagi diri sendiri atau untuk dijadikan sebagai barang miliknya. Apabila dihubungakan dengan unsur maksud, berarti sebelum melakukan perbuatan mengambil diri petindak sudah terkandung suatu kehendak (sikap batin) terhadap barang itu untuk dijadikan sebagai miliknya.
Maksud memiliki melawan hukum atau maksud memiliki itu ditujukan pada melawan hukum, artinya ialah sebelum bertindak melakukan perbuatan mengambil benda, ia sudah mengetahui, sudah sadar memiliki benda orang lain (dengan cara yang demikian) itu adalah bertentangan dengan hukum.
Berhubung dengan alasan inilah, maka unsur melawan hukum dalam pencurian digolongkan ke dalam unsur melawan hukum subujektif. Pada dasarnya melawan hukum adalah sifat tercelanya atau terlarangnya dari suatu perbuatan tertentu.[4] Dilihat dari mana atau oleh sebab apa sifat tercelanya atau terlarangnya suatu perbuatan itu, dalam doktrin dikenal ada dua macam melawan hukum, yaitu pertama melawan hukum formil dan kedua melawan hukum materiil.
Melawan hukum formil adalah bertentangan dengan hukum tertulis, artinya sifat tercelanya atau terlarangnya suatu perbuatan itu terletak atau oleh sebab dari hukum tertulis. Seperti pendapat simons yang menyatakan bahwa untuk dapat dipidananya perbuatan harus mencocoki rumusan delik yang tersebut dalam undang-undang.[5]
Sedangkan melawan hukum materiil adalah bertentangan dengan azas-azas hukum masyarakat, azas mana dapat saja dalam hukum tidak tertulis maupun sudah terbentuk dalam hukum tertulis. Dengan kata lain dalam hukum materiil ini, sifat tercelanya atau terlarangnya suatu perbuatan terletak pada masyarakat. Sifat tercelanya suatu perbuatan dari sudut masyarakat yang bersangkutan. Sebagaimana pendapat Vos yang menyatakan bahwa melawan hukum itu sebagai perbuatan yang oleh masyarakat tidak dikehendaki atau tidak diperbolehkan.[6]
Ada kekhawatiran akan adanya perbuatan merampas kemerdekaan seseorang oleh orang-orang tertentu yang tidak bersifat melawan hukum. Misalnya seorang penyidik dengan syarat yang syah melakukan penahanan terhadap seseorang tersangka. Apabila melawan hukum tidak dicantumkan dalam rumusan tindak pidana, pejabat penyidik tersebut dapat dipidana. Demikian juga halnya dengan memasukkan unsur melawan hukum ke dalam rumusan pencurian. Pembentuk UU merasa khawatir adanya perbuatan-perbuatan mengambil benda milik orang lain dengan maksud untuk memilikinya tanpa dengan melawan hukum. Apabila unsur melawan hukum tidak dicantumkan dalam rumusan hukum, maka orang seperti itu dapat dipidana. Keadaan ini bisa terjadi, misalnya seorang calon pembeli di toko swalayan dengan mengambil sendiri barang yang akan dibelinya.
Sistem hukum pidana Indonesia memperkenalkan dua pundi utama dalam mendeskripsikan tindakan yang dianggap melanggar hukum (melawan undang-undang) yaitu, tindakan yang dianggap sebagai suatu pelanggaran dan tindakan yang dianggap sebagai kejahatan. Mengulas hukum pidana, didalamnya menyangkut kepentingan masyarakat dan negara. Masyarakat sebagai penghuni suatu negara tentunya memiliki hak dan kewajiban yang tidak jarang bersentuhan dengan anggota masyarakat lainnya dan tentunya dengan kepentingan negara. Dalam konteks ini, negara miliki otoritas untuk mengatur dan memberikan jaminan pemenuhan hak dan kewajiban kepada masyarakat secara luas dan tidak diskriminatif.
Suatu perbuatan dapat dipidana jika perbuatan tersebut merupakan suatu tindak pidana atau memenuhi unsur-unsur di dalam suatu KUHP (azas legalitas). Bagaimana jika hal itu tidak diatur di dalam peraturan pidana yang ada? Apakah terhadap perbuatan tersebut dapat dilakukan penyelidikan atau penyidikan guna menemukan tersangkanya.[7] Dapat tidaknya seseorang atau pelaku kejahatan itu di pidana tergantung dari pembuktian di pengadilan di mana yang bersangkuta telah dapat dibuktikan bersalah melakukan perbuatan tersebut. Namun yang paling pokok dalam menentukan dapat tidaknya suatu perbuatan di pidana adalah perbuatan tersebut merupakan suatu tindak pidana, kemudian setelah itu baru diadakan suatu tindakan hukum dari tahap penyelidikan hingga tahap putusan pengadilan.



[1] Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Harta Benda, (Bayu Media, Malang, 2003), halaman 5
[2] ibid, halaman 7
[3] ibid, halaman 7
[4] ibid, halaman 16
[5] Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Rineka Cipta, Jakarta, 1983), halaman 132
[6] ibid, halaman 131
[7] Ednom Makarin, Kompilasi Hukum Telematika, (Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003), halaman 391

Tidak ada komentar:

Posting Komentar