Rabu, 15 Februari 2012

DEBT COLLECTOR AROGAN,ATAU DEBITUR YANG BANDEL???


Kehidupan sosial selalu berubah dari masa ke masa,Pola budaya masyarakat kita turut beriringan mengikuti alur perubahan sosial tersebut yang secara siginifikan berkembang terseret naluri sosial dimana bergerak dan berkehendak menuju ke kesejahteraan.Kehidupan masyarakat Indonesia yang dulu sederhana serta bersahaja sekarang berubah drastis memanjakan diri menjadi kaum yang berbudaya konsumtif.Produk baru baik dari dalam negeri maupun produk import yang menjanjikan kenyamanan yang memanjakan sehingga lebih praktis , mudah dan tak bertele-tele ataupun hanya sekedar mengunggulkan kemewahan semakin banyak terlahirkan.Masyarakat kita sekarang sudah terjebak dengan janji – janji manis dari produk- produk baru yang selalu bermunculan.Adanya peluang dengan melihat animo masyarakat yang begitu antuias dengan produk baru yang menjanjikan kemudahan dan keisitimewaan itu oleh para pejuang bisnis sang kapitalis situasi tersebut di manfaatkan.Merekapun memfasilitasi masyarakat golongan tertentu yang terjebak dalam budaya konsumerisme ini untuk bisa mewujudkan mimpinya.Dengan dalih menyediakan kerjasama modal dalam bentuk barang(Bank,Leasing,Finance dll),konsumen di persilahkan memilih barang produk- produk baru kesukaannya,persyaratan mudah bunga rendah.menggiurkan sekali...Sampai disini semua masih berjalan lancar belum ada masalah kriminogen(Potensi menjadi tindak pidana) yang muncul.
Tertariklah si Udin salah seorang pemuda dengan pekerjaan serabutan di terminal bus yang notabene punya mental baja.Kampungnya yang tak terjangkau angkutan umum menyulitkan dia untuk ke terminal dimana tempat untuk mengais rizki.Atas rayuan dari SPG – SPG( Sales Promotion Girl)yang menawarkan produk kendaraan bermotor dengan uang muka rendah membuat Udin terobsesi untuk keluar keluar dari masalah transportasi yang selama ini mebebaninya.Di pilihlah salah satu produk kendaraan bermotor tawaran SPG itu,dengan bermodal uang 1 juta rupiah yang di minta dari orang tuanya.Di lengkapi dengan KTP dan fotokopi kartu keluarga dari pihak perusahaan pembiayaan kredit mendatangi rumah udin serta menyodorkan seberkas kertas perjanjian (Fidusia) untuk di tanda tangani si Udin dari keluarga yang tadinya sederhana dan bersahaja,semenjak itu pula Udin mendapat predikat baru sebagai seorang Debitur.Cicilan pertama Udin sanggup membayar,Cicilan kedua Udin tersendat,cicilan ketiga Udin terseok dan cicialn keempat Udin angkat tangan.Masalah pun timbul disini,si Udin yang bermental baja siap menghalau debt collector untuk mempertahankan kendaraan utangan itu.
Itulah sekelumit prosa yang mendeskripsikan permasalahan social,dimana keadaan tersebut rentan untuk berkembang menjadi situasi kriminogen.Contoh nyata yang baru saja terjadi yaitu tindakan arogan dari debt collector salah satu bank swasta yang menagih tunggakan utang kartu kredit sebesar Rp. 68.000.000,- namun karena belum sanggup membayar di indikasi ada tindak kekerasan yang mengakibatkan si tertagih meninggal dunia.Sampai saat ini kasus tersebut masih dalam proses penyidikan Polisi.Polisi dalam hal ini bertindak setelah timbul adanya korban jiwa bahkan sampai meninggal dunia.Polisi bukan menyidik pelaku sebagai seorang debt collector tapi dalam posisinya sebagai tersangka pembunuhan.Sehingga kalau saja tidak terjadi pembunuhan maka polisi hanya menjadi penonton di panggung sosial,meskipun di panggung tersebut telah terjadi kegelisahan masyarakat karena akibat dari perjanjian fidusia.
Polisikah yang salah karena tidak sanggup megamankan wilayahnya?Korbankah yang salah karena ingin menyempurnakan cara hidupnya menjadi lebih mudah?Atau kaum kapitaliskah yang salah karena memberikan bantuan modal kepada pihak yang membutuhkan?Disini di perlukan keaktifkan hukum merespon masalah sosial.Namun perlu di cermati disini,Hukum di konsepkan untuk Manusia,bukan Manusia yang di ciptakan untuk Hukum.Naluri manusia yang selalu bergerak progresif untuk menuju kearah kesejahteraan tidak boleh di kekang oleh hukum,namun  sebaliknya hukum itu ikut mengalir bersama naluri kemanusiaan tersebut sehingga substansi kesejahteraan tersebut dapat tercapai.Disini hukum di perlukan seabagai pengawal menuju proses kesejahteraan masyarakat.Biarkan si Udin berusaha keluar dari masalah transportasi yang mengikatnya.Ikuti langkah kaum kapitalis untuk menolong sebagian masyarakat yang membutuhkan dana pinjaman.Namun ketika terjadi konflik pernjanjian di antara keduanya,hukum harus segera merespon sehingga kewajiban dan hak yang mereka sandang dapat berjalan seimbang.
Pemerintah tidak boleh hanya menjadi penonton kegelisahan masyarakat yang kini sudah menjadi situasi kriminogen.Permasalahan utang piutang berujung pada tindak kekerasan.Atau berlindung pada perjanjian fidusia,si Udin mental baja siap menghalau debt collector yang akan menarik kendaraan bermotor utangnya.Udin berkeyakinan ini adalah masalah perdata “Besok kalau saya punya duit,akan saya lunasi”.Tapi entah kapan si Udin punya dana untuk melunasi utang – utangya juga tidak ada kepastian.Tidak menjadi rahasia umum,sebagian golongan masyarakat telah terbiasa bermain dengan kredit kendaraan bermotor seperti itu,mereka pun sudah punya kiat untuk membohongi hukum.Dengan pegangan satu pasal 36 ayat (2) UU HAM,tidak seorang pun boleh di rampas hak miliknya dengan sewenang dan secara melawan hukum.
Meskipun tidak seluruhnya,namun dalam kendaraan bermotor hasil utangan tersebut Udin mempunyai hak kepemilikan karena sudah membayar uang muka dan cicilan pertama.Apabila di perlakukan sewenang- wenang oleh debt collector,Udin bisa saja melapor ke polisi dengan berlindung pada pasal tersebut.Dan Pak Polisi selain menerapkan pasal tersebut juga bisa menerapkan pasal perampasan pasal 368 KUHP,”Barang siapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum,memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan sesuatu barang,yang sebagian atau seluruhnya adalah kepunyaan orang itu atau orang lain...”.Apabila situasinya memang demikian,maka polisi di bohongi secara intelektual menjadi pelindung debitur bandel.Lagi-lagi Polisi dapat bergerak dengan payung hukum setelah terjadi konflik kepentingan masyarakat yang disertai kekerasan baik fisik maupun psikis.
Apakah tidak ada langkah lain untuk keluar dari masalah social tersebut dengan tindakan pre-emtif,preventif dan tidak mulu-mulu menggunakan tindakan represif.Dalam hal ini Polisi di batasi dengan pasal 5 huruf (h) PP No.2 tahun 2003 dimana Polri tidak di perbolehkan menjadi penagih utang atau pelindung yang punya utang.Namun pasal  tersebut tidak seharusnya mematakan langkah Polri untuk menjaga keseimbangan ketentraman dan ketertiban masyarakat.Polri sebagai Pelindung,pengayom dan pelayan masyarakat yang berada pada garis terdepan dimana langsung bersentuhan dengan masyarakat,wajib untuk bertindak ketika mendapati permasalahan social apalagi sampai pada tingkat potensi kriminogen.Tidak ada regulasi eksplisit yang memberikan kewenangan terhadap Polri untuk menjadi mediator masalah utang pituang.Kita sebagai manusia yang berakal dan berhati nurani,tidak sepantasnya di permainkan oleh skema artifisial berupa undang-undang tekstualitas.Kita perlu mengintepretasikan cara berhukum yang cerdas secara spiritual maupun intelektual.Apakah adil apabila Udin tidak mau menyerahkan sepeda motor utanganya meskipun sudah menunggak 2 tahun semenjak cicilan pertama di bayarkan?Apakah adil perilaku Debt collector arogan yang mengambil barang utangan dengan paksa?Dilematis memang,situasi pragmatis seperti itu perlu turut campur pemerintah.
Pemerintah bisa bertindak setelah mendapat payung hukum.Pemerintah dalam hal ini Polisi sebagai ujung tombak untuk menjaga kemanan dalam negeri sebagai pelindung,pengayom dan pelayan masyarakat seharusnya dapat bertindak lebih cepat.Meskipun belum terdapat regulasi eksplisit yang mengatur tentang mediasi utang piutang,namun kalau kita bisa menafsirkan UU secara progresif.Sebagai langkah antisipatif agar supaya hukum tidak pernah tertinggal satu langkah di belakang peradaban manusia.Agar jangan sampai terjadi situasi inpunitas sehingga manusia di bodohkan oleh hukum.Polisi mempunyai kewenangan deskresi kepolisian seperti yang di atur dalam pasal 18 ayat (1) UU No 2 tahun 2002, untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaianya sendiri.
Dengan pegangan satu payung hukum tersebut,Polisi dalam tugas dan wewenangnya menjaga keseimbangan ketertiban dan ketentraman bermasyarakat serta melindungi,mengayomi dan melayani masyarakat dapat melakukan upaya mediasi dalam kasus utang piutang sebelum berkembang menjadi situasi kriminogen.Perlu di cermati disini,bahwa sebagai mediator berbeda dengan sebagai penagih utang seperti yang di atur dalam Pasal 5 PP no 2 Tahun 2003.Namun karena pemahaman yang positivistic legalis anggota Polri dalam mencermati hal tersebut tidak berani mengambil langkah dengan berpayung pada kewenangan deskresi.Meskipun tidak mempunyai kewenangan upaya paksa dalam proses mediasi tersebut,tapi setidaknya ada upaya penyelesaian untuk keluar dari situasi kriminogen ini.Apabila upaya mediasi yang di fasilitasi Polri ini tidak mempan,maka selanjutnya Polri pun harus berperan aktif membantu masyarakat dengan meberikan pengetahuan dan tuntuan terhadap perkara tersebut.Karena upaya mediasi yang gagal,pihak yang di rugikan yaitu kreditur dapat melapor ke pengadilan agar supaya haknya yang di bawa oleh debitur mendapat solusi yang mempunyai kekuatan hukum.Selanjutnya pengadilan dapat memberikan somasi kepada debitur agar segera melunasi utangnya dan apabila dalam jangka waktu tertentu tidak kunjung di lunasi juga maka bisa di lakukan penyitaan.Namun untuk sampai ke tahapan itu kreditur akan menghadapi birokrasi yang bertele-tele sehingga cara ini di anggap tidak efektif.
Menurut pendapat penulis bukan sebagai orang yang pandai,namun kredibilitasnya sebagai rakyat yang gelisah dengan situasi kriminogen tersebut perlu di buat regulasi eksplisit yang mendukung penerapan kewenangan deskresi kepolisian tersebut diatas berubah menjadi kewenangan legalis,Bukan pada level Undang-Undang namun cukup pada tingkat Peraturan Pemerintah ,sehingga Polri yang mengerti persis keadaan sosial berikut masalah yang terjadi di tengah-tengah masyarakat memiliki payung hukum yang jelas sehingga dapat menempatkan dirinya sebagai mediator utang piutang bukan sebagai penagih piutang atau pelindung utang.Perlu ada batasan kewenangan namun juga ada jaminan kepastian hukum atas langkah- langkahnya sehingga tidak terjerat dengan pasal 5 PP no 2 tahun 2003.(kkh/02411)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar