Rabu, 15 Februari 2012

Hukum dan Masyarakat


Pertama-pertama yang harus dikemukakan adalah pengertian dari kajian tentang hokum. Hukum adalah sebagai seluruh norma sosial yang telah diformalkan oleh institusi-institusi kekuasaan negara.Dengan demikian, menurut Soetandyo Wignjosoebroto tak salah kiranya apabila dikatakan bahwa hukum dalam modelnya sebagai undang-undang  adalah invensi negara bangsa yang terjadi di kawasan negeri-negeri Eropa Barat dalam kurun sejarah yang mengabarkan pula bangkitnya kesadaran berbangsa penduduk negeri di wilayah itu, yang kemudian daripada itu mengakhiri sejarah Eropa sebagai sejarah raja-raja. Itulah kurun waktu yuang mengatakan betapa “the making of Europe is the making of Kings and Queens no more, but the making of nations”.
Seiring dengan pertumbuhan konsep negara-negara bangsa -yang secara cepat atau lambat mengakhiri era negara-negara kerajaantelah berkonsekuensi pada kebutuhan akan suatu perangkat hukum baru, ialah hukum nasional. Mengenai perjalanan hukum dari hokum-hukum kerajaan ke hukum nasional Soetandyo mengilustrasikan sebagai berikut:[1]
Apabila hukum raja-raja dipandang sebagai hukum kaum elit-otokrat yang berbasis pada titah-titah sepihak para penguasa, hukum nasional dibenarkan sebagai hukum yang lahir dari paradigma baru, bahwa ‘suara rakyat (yang yang disatukan secara rasional lewat kesepakatan) adalah suara Tuhan’.  Vox Populi Vox Dei. Hasil kesepakatan rakyat inilah – secara langsung atau melalui wakil-wakilnya, yang kelak diinstitusionalkan lewat lembaga legislatif atau referéndum – akan dipositifkan sebagai hukum yang akan menjamin kepastian secara adil dan benar.
nurut Satjipto Raharjo, hukum dan masyarakat tidak bisa dipisahkan, bagi hukum, masyarakat merupakan sumber daya yang memberi hidup (to nature) dan menggerakkan hukum tersebut. Masyarakat menghidupi hukum dengan nilai-nilai, gagasan, konsep, disamping itu masyarakat juga menghidupi hukum dengan cara menyumbangkan masyarakat untuk menjalankan hukum. Kita mengetahui dari perspektif sosiologis hukum, hukum itu hanya bisa dijalankan melalui campur tangan manusia, sebagai golongan yang menyelenggarakan hukum, maupun mereka yang wajib menjalankan ketentuan hukum. Dengan demikian masuklah aspek perilaku manusia ke dalam hukum.
Dalam karyanya yang lain Satjipto Raharjo berpendapat bahwa hukum bekerja dengan cara memancangi perbuatan seseorang atau hubungan antara orang-orang dalam masyrakat. Untuk keperluan pemancangan tersebut, maka hukum menjabarkan pekerjaannya dalam berbagai fungsi, yaitu:[2]
a. Pembuatan norma-norma, baik yang memberikan peruntukan maupun yang menentukan hubungan antara orang dengan orang
b. Penyelesaian sengketa-sengketa
c. Menjamin keberlangsungan kehidupan masyarakat, yaitu dalam hal terjadi perubahan-perubahan sosial
Dari tiga pekerjaan hukum sebagaimana disinggung di atas dapat digolongkan sebagai sarana untuk melakukan kontrol sosial, yaitu suatu proses mempengaruhi orang-orang untuk bertingkah laku sesuai dengan harapan masyarakat. Lebih lanjut Satjipto Raharjo mengemukakan bahwa apabila proses pengontrolan sosial tersebut dihubungkan dengan bagan hubungan sibernetik dari parsons, maka tampak bahwa pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan oleh hukum itu tidak sama sekali otonom, melainkan kait-berkait dengan proses-proses lain yang berlangsung dalam masyarakat. Kait-berkait dalam arti, baik hukum itu mengontrol maupun dikontrol oleh berbagai proses dalam masyarakat ituserta bekerjanya hukum itu dikondisikan pula oleh proses-proses yang memuat energi lebih yang besar.[3]
Suatu hal yang mustahil jika hukum bisa terlepas dan otonom dari unsur-unsur yang lain, oleh karena itu dalam hal ini Sabian Ustman melihat hukum sebagai fakta sosial tidaklah dikonsepsikan sebagai suatu gejala normatif yang otonom dan atau mandiri, akan teteapi sebagai suatu institusi sosial yang selalu membumi secara riil dengan pola-pola dan atau variabel-variabel sosial yang senyatanya hidup dan berkembang serta berakar di masyarakat.[4]
Lebih lanjut Sabian berpendapat bahwa ada perbedaan mendasar anatara hukum  sebagai fakta hukum dengan hukum sebagai fakta sosial. Hukum sebagai fakta hukum spekulatif teoritis dan normatif, sementara hukum sebagai fakta sosial bersifat sosiologis’empiris,non-doktrinal dan non-normatif.
Dengan demikian dapat dikatakan bahawa hukum dan dinamika sosial adalah dua hal yang saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya. Masyarakat memberi hidup hukum sedangkan hukum mengarahkan masyarakat menuju tujunannya. Sebagaimana pandangan sosiological jurisprudence hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup didalam masyarakat. Lebih jauh aliran ini berpandangan bahwa kaitannya dengan hukum yang positif,dia hanya akan bisa efektif apabila senyatanya selaras dengan hukum yang hidup di masyarakat dan pusat perkembangan dari hukum bukanlah terletak pada badan-badan legislatif,keputusan-keputusan badan yudikatif atau ilmu hukum, tetapi senyatanya adalah justeru terletak di dalam masyrakat itu sendiri.
Hal yang senada di ungkapkan oleh Awaludin Marwan yang berpendapat bahwa hukum tidak bisa lepas dari masyarakat secara sosial , hukum dilaksanakan dibuat dan diterapkan atas mandat masyarakat. Sehingga mempelajari hukum pertama-tama hendaknya mempelajari masyarakatnya. Tidak ada hukum tampa ada masyarakat.[5]
Lebih lanjut Awaludin Marwan berpendapat bahwa hukum yang baik adalah hukum yang memiliki legitimasi moral dan politik dari masyarakat, yang berisikan keinginan, harapan, kebutuhan dan kebudayaan masyarakat. Hukum yang tidak mengandung hati nurani rakyat, maka ia bukanlah hukum yang baik dan hukum yang terkhir inilah yang harus dikritik dan dirobohkan.[6]
Kegagalan gerakan pembangunan hukum di beberapa negara berkembang dalam konteks tertentu baik dalam arus utama tidak dapat menjawab berbagai persoalan kemasyarakatan yang rumit dan tidak bisa dijawab secara tekstual dan mono disiplin dan dalam kondisi seperti itu penjelasan yang lebih mendasar dan mencerahkan bisa didapatkan secara interdisipliner. Oleh karenanyadibutuhkan suatu pendekatan hukum yang bisa menjelaskan hubungan antara hukum dan masyarakat. Dalam konteks negara yang sedang berkembang. Studi ilmu hukum harus dapat mengkombinasikan antara ilmu sosial dan ilmu hukum.
Menarik untuk disimak pendapat para ahli hukum sebagaimana penulis sebutkan di atas, hukum tidak lagi sebagai sebuah musium yang terpajang dilembaga-lembaga hukum melainkan merupakan wujud dari dinamika kehidupan sosial. Dengan berangkat dari pendapat Satjipto Raharjo Bahwa hukum adalah untuk manusia dan bukan hukum untuk hukum merupakan sebuah paradigma baru melihat dan menyikapi hukum yang keberadaannya tidak bisa mengabaikan masyarakat begitu saja.

[1] http://soetandyo.wordpress.com/2011/07/11/tentang-kajian-hukum-dan-masyarakat-sebuah-pengenalan/
[2] Lihat dalam Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perilaku, Hidup Baik adalah Dasar Hukum yang Baik,Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2009, hal. 19; lihat juga dalam Yesmil Anwar dan Adang, Pengantar Sosiologi Hukum,Jakarta: Kompas Gramedia, 2008, hal. 114
[3] Lihat Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2007, hal. 133.
[4] Sabian Usman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Yogyakarta: Pustak Pelajar, 2009.
[5] Lihat dalam Satjipto Raharjo, dkk., Satjipto Rahardjo dan Hukum Progresif: Urgensi dan Kritik,Episentrum Institute, 2011.
[6] Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar