Rabu, 15 Februari 2012

Syaiful Jamil dan Keadilan Restorative



            Tertarik saya atas pemberitahuan rekan kompasioner dengan salah satu tulisan di http://hukum.kompasiana.com/2011/09/08/polri-hanya-berani-dengan-saipul-jamil-saja/.
Mungkin memang sudah basi untuk membicarakan perkara pedangdut Syaiful Jamil,kecelakaan yang tidak pernah dia bayangkan pada hari sabtu tanggal 3 september 2011 di tol Cipularang KM97[i].Tragedi yang tragis dalam hidupnya,sudah jatuh,kehilangan istri di tambah pusingnya perkara dengan polisi.Meskipun sudah berganti bulan,Penulis sendiri tidak mengetahui perkembangan perkara tersebut secara mendetail,sehingga apabila ada kekeliruan informasi mohon di luruskan.Penulis mencoba menganalisa kasus tersebut dari sudut pandang Politik Hukum Pidana[ii] dan keadilan restorative[iii] secara komprehensif dengan wawasan keilmuan selugas mungkin.Kata orang bijak “Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.
            Secara hukum positif,Polri sebagi instansi yang di bebani wewenang  untuk menangani hal tersebut seolah seperti di lempari buah simalakama.Sebagai pelaksana undang – undang yang secara dogmatis dalam pasal 310 ayat (4) UU No.22 tahun 2009 “Dalam hal kecelakaan sebagaimana di maksud pada ayat (3) yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia,dipidana dengan pidana penjara paling lama 6(enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.12.000.000,00(Dua belas juta rupiah.
Secara tekstual,tidak salah memang “seandainya” Polri melanjutkan perkara tersebut sampai ke ranah pengadilan.Karena memang teks dari undang-undang yang di jeratkan kepada Ipul sebagai tersangka atas meninggalnya istrinya sendiri akibat kelalaianya.Namun pertanyaannya sekarang,apakah itu yang di harapkan si pembuat peraturan pada waktu menggagas serangkaian kalimat dan kemudian di sahkan menjadi UU yang kini menjerat Ipul Jamil?Ruang sosial begitu dinamis,sehingga segelintir kalimat tidak akan mampu mewakili fenomena social yang tak terbatas.Polisi yang berasal dari kata Policy(kebijakan) tentunya harus jeli dalam menerapkan logika hukum,sehingga substansi dari penegakan hukum itu tercapai.
Politik hukum pidana mengejewantah dalam bentuk penegakan hukum pidana. Sebagai pengejewantahan politik hukum pidana, penegakan hukum pidana merupakan suatu proses dan kebijakan untuk menanggulangi kejahatan secara rasional melalui sarana hukum pidana yang dilaksanakan melalui beberapa tahap. Tahap pertama adalah tahap formulasi, yaitu tahap pembuatan  peraturan perundang-undangan pidana yang tahap pembuatan oleh Badan Pembuat Undang-undang, kemudian tahap aplikasi, yaitu tahap penerapan hukum pidana yang dilakukan oleh aparat atau instansi penegak hukum, mulai dari kepolisian sampai pengadilan, akhirnya tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan pidana oleh aparat atau instansi pelaksana pidana.
Namun harus di ingat pula,Polisi sebagai pengambil kebijakan di bekali payung hukum berupa kewenangan diskresi kepolisian seperti yang tertuang dalam Pasal 18 UU No.2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Sehingga alangkah lebih indahnya hukum Republik ini apabila aparat penegak hukumnya bisa mengintepretasikan peraturan tekstual di selaraskan dengan kontekstualitasnya.Sehingga anomaly hukum yang terjadi tidak melepaskan tujuan hukum dari subtansinya yaitu untuk menuju keadilan sosial dan rakyat yang sejahtera.
Tercontoh pada kasus Syaiful jamil kali ini,menurut perkiraan saya pribadi.Saya yakin Polisi memeriksa Syaiful jamil dan menetapkanya sebagai tesangka itu semata hanya untuk memenuhi perintah dari regulasi formil.Artinya,persyaratan yang di butuhkan dalam berkas  penyidikan memang wajib di lengkapi oleh Polisi.Itu sebagai tanggung jawab kerja atas profesinya,tanggung jawab atas SPDP yang di kirimkan kepada kejaksaan.Pertanggung jawaban ijin penyitaan yang dikirimkan kepada pengadilan.Sehingga tindakan melengkapi berkas perkara yang di lakukan oleh penyidik itu,saya menilai sebagai langkah antisipatif.
Namun di balik tindakan antisipatif Polri tersebut,sang pengambil kebijakan menyimpan solusi yang cemerlang.Polri masih mempunyai penyelesaian berupa “Mediasi penal atau Alternatif Dispute Resolution(ADR)”.Secara komprehensif,pasal 18 UU No. 2 tahun 2002 dapat menjadi payung hukum bagi Polri untuk memediasikan perkara Ipul Jamil.Apalagi Kapolri dengan keputusannya yaitu Surat Kapolri No.Pol.: B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009 di tentukan beberapa langkah – langkah penanganan kasus melalui ADR.
Kiranya kebijakan seperti itulah yang di nanti oleh pengagum keadilan di negeri ini.masih ada harapan di Republik yang sakit ini untuk kembali siuman.Semoga manusia dengan kewenangan yang di berikan oleh Negara.Yang kita sepakati bernama aparat penegak hukum di negeri ini,dapat memahami regulasi yang di formulakan sedari awal dengan dasar filsafat yang mulia.Untuk mencapai kesejahteraan rakyat  dan keadilan sosial.Itulah substansi dan tujuan dan penegakan hukum bila ingin di katakana berhasil.



[i] http://showbiz.vivanews.com/news/read/244494-foto--kecelakaan-maut-saipul-jamil
[ii] eprints.undip.ac.id/17271/1/EVAN_ELROY_SITUORANG.pdf
[iii] http://hukum.kompasiana.com/2011/03/23/penegakan-hukum-atau-penegakan-undang-%E2%80%93-undang-polisi-dan-keadilan-restoratif/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar