Opini apa yang terlintas dalam benak pembaca
sekalian ketika mendengar kata Plagiarisme atau penjiplakan? Kerugian apa yang
terbayangkan dengan tindakan yang kini menjadi budaya konvensional di berbagai
celah ruang untuk berkarya.Akibat tidak langsung apa yang ditimbulkan oleh
tindakan ini yang kalau boleh saya sebut sebuah kejahatan pemikiran. Ironis
sekali,dalam masa awal kebangkitan peningkatan sumber daya manusia(SDM) secara
signifikan justru banyak sekali karya karya plagiarisme.Mulai dari bidang karya
seni terdapat nada plagiarisme bahkan
penjiplakan 100% atau full body plagiaris,di dunia bisnis terdapat system yang
di plagiariskan bahkan pada motif dan warna juga di jiplak sehingga menyerupai
barang aslinya sehingga konsumen terkecoh(red:
Penipuan dengan Warna dan symbol minimarket),sampai ke ranah edukasi yang seharusnya menjadi suri tauladan bagi
lapisan masyarakat juga sarat budaya plagiarisme ini.Banyak sekali di bumi
kandung kampus yang substansinya adalah rahimnya orang-orang intelektual yang
menggodog calon sarjana untuk membangun negeri tercinta kita ini di warnai
dengan karya ilmiah pragiaris.Mulai dari tugas harian berupa artikel,makalah
sampai ke tugas akhir berupa skripsi atau bahkan tesis dan desertasi pun tak
luput dari virus plagiaris ini.
Sekelumit
kalimat di atas hanya mampu menggambarkan keadaan budaya plagiaris yang kian
menyengat merasuk ke kehidupan sehari hari kita dan bukan merupakan hal tabu
tapi di anggap konvensional.Terlepas dari kesuksesan maya yang di dapat dari
artifisial plagiaris tersebut tersimpan bahaya laten yang tertidur berselimutkan
lapisan sedimentasi rasa malu yang mengelupas dimana seharusnya menjadi roh
kebudayaan timur kita.Penullis membagi golongan bahaya akibat artifisial
plagiaris ini menjadi tiga golongan.
Akibat
subyektif,ini di rasakan oleh pelaku yang melakukan penjiplakan itu.Meskipun
nyata terlihat terdapat keuntungan dari hasil jiplakan itu namun hakikatnya dia
kehilangan naluri kreativitasnya.Dan akhirnya mengidap penyakit Syindrom
KEREaktif(Kere bahasa jawa = miskin),karena
kebiasaan plagiaris itu si subyek kehilangan stimulant guna menggerakan otaknya
untuk terus berkarya akibatnya menjadi miskin produk.Padahal sebenarnya tanpa
ada sifat malas yang mendompleng dari budaya plagiaris,sehingga mengubur
kemampuan yang sebenarnya.
Selanjutnya
adalah akibat obyektif,obyek itu sendiri terbagi menjadi obyek si pencipta
karya seni selanjutnya penulis menyebutnya obyek aktif dan obyek yang kedua
adalah obyek hasil karya seni yang di jiplak selanjutnya di sebut obyek pasif.Pihak
obyek aktif disini menanggung banyak sekali kerugian,terutama pada penghargaan
buah karyanya.Seharusnya mendapatkan royalty berupa penghargaan financial atas
haknya sebagai insentive untuk berkreasi lebih maju.Namun tindakan plagiarisme
sebagai manifestasi dari budaya barbarisme
(istilah dari Ortega,sosiolog hukum)
telah merampas surga dari para kreator yang produktif itu.
Dan
yang terakhir adalah akibat obyektif pasif,obyektif pasif adalah artifisial
yang telah di ciptakan oleh si kreator yang sebenarnya.Karena hasil karya yang
aslinya di bajak,akhirnya bermunculan artifisial-artifisial yang tidak
berkualitas seperti aslinya.Bahkan jika di korelasikan dengan akibat obyektif
aktif dimana sang kreator kehilangan stimulant untuk berkarya bisa
mengakibatkan pembunuhan artisial yang berkualitas sebelum terlahir.Dengan
begitu para penikmat artifisial akan kekurangan stock artifisial yang benar
benar berkualitas.Kita sebagai konsumen yang menikmati artisial tidak ada
salahnya ikut turut andil dalam memberantas virus plagiarisme ini mulai dari
diri kita sendiri,keluarga,merambah ke
komunitas kecil dan lebih luas lagi ke public society.(kkh/31411)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar