Belakangan ini semakin banyak saja muncul
ketidak adilan dalam supremasi hukum sebagai akibat penafsiran hukum secara
positivisme.Rasionalisasi hukum yang identik dengan tesktualisasi artifisial
tersebut mendorong timbulnya cara berhukum yang di dasarkan pada
teks.Tekstualisasi telah membawa substansi hukum yang natural menjadi sekedar
sebuah skema rasional yang membuat hukum
itu mati.Sampai kapankah kita terjebak dalam situasi dimana hukum kehilangan
kompasnya?Apakah kita akan membiarkan hukum tersesat dan kehilangan arah?
Melalui
artikel pendek ini Penulis akan mencoba mengurai apakah itu hukum? Mengapa
harus ada hukum?Hukum bertujuan untuk apa?Sudah benarkah interpretasi para
penegak hukum terhadap substansi hukum kita?Bagaimana implementasi penegak
hukum dalam mencapai keadilan?Hendaknya perlu di luruskan kembali bahwa
penegakan hukum bukan sekedar penegakan
undang undang.
Hukum
lahir di dalam suatu masyarakat yang ber-Etika untuk menuju keadilan sehingga
di buatlah suatu konfigurasi aturan yang
seimbang dan terukur untuk menuju kesejahteraan dan ketentraman hidup Dari
kalimat tersebut dapat di simpulkan bahwa hukum adalah manifestasi dari upaya masyarakat
yang ber-etika dan bermartabat.Hukum harus ada sehingga tujuan masyarakat yang
memimpikan kesejahteraan dan ketentraman dapat tercapai.Undang- undang
diciptakan sebagai perahu hukum untuk menuju dermaga keadilan dan penegak hukum
di berikan amanah untuk menjadi nahkoda perahu hukum yang mebawa penumpang masyarakat pemuja
keadilan tersebut, sehingga sampai ke keadilan sosial yang diimpikan.Perlu di
tekankan disini bahwa penegak hukum bukanlah penegak undang – undang.Apabila
terjadi kebocoran perahu di tengah samudra sebelum sampai ke dermaga,apakah
yang harus di lakukan oleh nahkoda?apakah akan mempertahankan perahu atau
menyelamatkan penumpang dengan sekoci sekoci kecil sehingga penumpangnya
selamat sampai ke dermaga keadilan?Undang-undang adalah skema artifisial berupa
serangkaian kalimat yang tergagas untuk menuju keadilan.Sebaik apapun gagasan
yang di skemakan dalam Undang – undang tersebut akan selalu ada kemungkinan
predisposisi kebocoran ketika di terapkan di dalam masyarakat.Sehingga di sini
perlu penafsiran progresif dari para penegak hukum untuk menyingkapi keadaan
yang luar biasa tersebut.Menurut penulis, penegakan undang – undang secara kaku
akibat dari pemahaman yang dangkal tersebut sama dengan mempertahankan perahu
bocor dan kemudian tenggelam seperti analogi diatas.Drama hokum seperti itulah
yang sementara ini dominan terjadi di Republik ini.
Atas
dasar pemikiran tersebut maka POLRI sebagai salah satu bagian Cryminal Justice
System(CJS) mengemban fungsi penyelidikan dan penyidikan harus jeli dalam
menganalisa keadilan.Polri dituntut tidak hanya mengedepankan kecerdasan
intelektual saja ketika menganalisa sebuah perkara.Tapi juga harus melibatkan
kecerdasan spiritualnya sehingga keadilan yang merupakan tujuan substantif dari
hukum itu benar – benar tercapai.Begitu banyak perkara yang dirasa tidak
mencapai keadilan ketika undang – undang sebagai konfigurasi norma positif di
terapkan secara kaku.Satu contoh misalnya kecelakaan lalu lintas tunggal
mengakibatkan korban meninggal dunia yang notabene korbannya adalah si anak sedangkan
pengendara yang di jadikan tersangka adalah bapak kandung.Sudah jatuh tertimpa tangga masih terinjak – injak pula.Bagaimana
perasaan seorang bapak kandung yang anaknya meninggal dunia karena
kealpaannya?Sudah merasa sakit fisik karena kecelakaan,beban mental yang luar
biasa karena anaknya meninggal dunia,masih harus berurusan dengan prosedur hukum
yang tentunya menghabiskan banyak pengorbananan baik dari determinasi
pikiran,waktu serta materiil.Belum lagi permasalahan kompleks yang akan di
hadapi oleh keluarganya,siapa yang akan mencari nafkah ketika si bapak berada
dalam penjara?Bagaimanakah nasib istri dan anak anaknya yang lain?Lebih buruk
lagi ini bisa menjadi salah satu determinasi sosial kriminogen atau berpotensi
menimbulkan kejahatan baru karena keadaan ekonomi yang terpuruk.
Terlepas
dari kalimat kaku yang terkonsepkan dalam undang – undang,dibutuhkan kecerdasan
spiritual dari penyidik untuk menginterpretasikan susunan kalimat yang di
tuliskan dalam undang – undang itu.Keadilan restorative di mana menempatkan
keadilan untuk kesejahteraan sebagai tujuan utama dalam berhukum menawarkan
solusi yang mempunyai nilai filosofis sesuai dengan jiwa bangsa timur
(Indonesia).Istilah mediasi pidana menjadi sekoci kecil ketika terjadi
kebocoran skema artifisial sehingga keadilan yang membawa kesejahteraan bisa
tercapai.Atas dasar permasalahan kemanusiaan dan determinasi sosiologis maka di
butuhkan keberanian penyidik untuk bertindak luar biasa dengan cara tidak
melanjutkan sampai ke tahap penuntutan terhadap peristiwa tersebut.Penyidik
dalam hal menjadi tumpuan utama agar keadilan di Republik ini benar benar di
tegakan secara substansial.Seperti yang di kemukakan oleh Begawan sosiologi
hukum Prof.Satjipto Raharjo “Di tangan-tangan
perilaku polisi itulah hukum menemukan makna yang sebenarnya”.Tentu saja
pembuat hukum tidak berencana untuk membuat kegaduhan tersebut,oleh sebab
itulah di perlukan dikresi kepolisian yang di atur dalam pasal 18 UU no 2 tahun
2002.Polisi mempunyai kewenangan untuk bertindak luar biasa untuk menegakan
keadilan yang substantive.Apalagi selain sebagai penegak hukum Polri juga
mengemban fungsi sebagai pelindung,pelayan dan pengayom masyarakat.
Bercermin
dari pengalaman di atas,tentu tidak hanya ada satu peristiwa yang terjadi
akibat kebocoran skema artifisial tersebut.Sehingga pemikiran progresif seperti
yang di gagas oleh Prof.Satjipto Rahardjo menjadi sekoci – sekoci kecil
penyelamat bangsa kita menuju ke dermaga keadilan.Menindak lanjuti konsep peristiwa
serupa maka Polri membentuk Forum Kemitraan Polisi Masyarakat (FKPM) yang
beranggotakan beberapa anggota masyarakat sebagai wadah untuk sarana akomodasi menuju
mediasi pidana di tingkat desa.Program yang di canangkan Polri ini sudah
berjalan optimal di sebagian kecil wilayah Indonesia namun di bebarapa daerah
lain masih tidur ayam atau bahkan
mati tanpa aktivitas.Kiranya tekad dari Polri untuk menegakan hukum berbasis
keadilan tak akan bisa terwujud tanpa adanya peran aktif dari masyarakat untuk
mewujudkan keadilan dan kesejahteraan.Kita harus menanggalkan sifat
apatis dalam berhukum,sekecil apapun peristiwa yang terjadi di lingkungan kita
itu adalah tanggung jawab kita untuk peduli dan turut andil dalam menjaga keamanan,ketertiban
dan ketentraman.Jangan biarkan hukum kita berjalan sesat karena penafsiran yang
dangkal terhadap peraturan normatif,mari kita jaga dan turut mengontrol kerja
penegak hukum serta melakukan gerakan sadar hukum mulai dari diri kita
sendiri,keluarga dan lingkungan kita.Semoga Pancasila sila ke-5 “Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” dapat terwujud.
Apa manfaatnya dari perbuatan tersebut?
BalasHapus