Institusi POLRI dalam
beberapa pekan terakhir selalu menjadi
sorotan negatif di mata publik. Potret Polri dengan beberapa kegagalan akibat
dari kebijakan hukum yang di rasa tidak memenuhi rasa keadilan sosial, semakin
menghambat Polri dalam membangun institusi yang di cintai masyarakat.Semangat
Polri seperti yang di galakan dalam ulang tahunnya kemarin yaitu “Dengan
semangat kemitraan,kita mantapkan revitalisasi guna mewujudkan pelayanan prima”
seolah hanya menjadi slogan tak berarti. Sederetan kasus yang di tenggarai
terdapat unsur pelanggaran HAM hingga sampai ke pencurian sandal jepit semakin
menimbulkan rasa antipatik masyarakat terhadap institusi penegak hukum di
Indonesia.
Belum
sempat mereda masyarakat membincangkan tindakan POLRI karena memproses secara
hukum kasus sandal jepit dengan tersangka AAL yang masih dalam usia belia,muncul
lagi kasus serupa di Cilacap yang mencuri buah pisang dengan tersangka K(21)
dan T(25) yang di ketahui dari hasil pemeriksaan psikologis kedua tersangka
mengalami keterbelakangan mental. Atas dasar tersebut dan di perkuat adanya
jaminan penasihat hukum bahwa tersangka akan kooperatif akhirnya Kejaksaan
Negeri Cilacap membebaskan kedua tersangka tersebut.
Kasus mbok minah yang dulu sempat heboh hingga pencurian
sandal jepit dan pencurian pisang adalah hanya beberapa contoh kasus yang
diliput oleh media massa.Polisi yang tidak mau di lempar sandal jepit
lagi,harus semakin persuasif dalam menangani perkara pidana.Meskipun dalam
prakteknya, anggota polisi di lapangan terutama di tingkat Polsek dan Polres,
sering mengeluarkan kebijakan diskresi dengan menerapkan mediasi dalam perkara
pidana .Namun tindakan semacam itu tidak mendapat perhatian dari
media.Akibatnya Polri di rugikan karena kebijakan hukumnya tidak di sampaikan
kepada masyarakat secara berimbang.Berita yang di terima oleh masyarakat
melalui media, di dominasi informasi tentang kelemahan Polri.
Memang Polri belum sepenuhnya baik, masih banyak yang
harus di perbaiki dalam tubuh institusi penegak hukum ini.Polisi selama ini
masih skeptis dalam menerapkan mediasi terhadap perkara pidana, karena belum
ada regulasi yang menjadi acuan tunggal dalam mengeluarkan kebijakan hukum
Polri.Pasal diskresi yang di gadang-gadang bisa menjadi payung hukum untuk
kebijakan mediasi ini,masih membutuhkan intepretasi yang radikal sehingga bisa
menjadi dasar hukum yang kuat untuk menghentikan perkara pidana.Keadaan ini di
dukung adanya determinasi tidak semua anggota polri mengerti bagaimana cara
mengintepretasikan hukum, supaya hukum tetap berpijak pada substansinya sebagai
sarana untuk mencapai keadilan dan mensejahterakan rakyat.
Mediasi Penal
Menurut Prof. Dr. Barda Nawawi Arief,SH
Mediasi Penal
(penal mediation) atau disebut juga “mediation in criminal cases”
atau ”mediation in penal matters” yang dalam istilah Belanda disebut strafbemiddeling.
Pada dasarnya, mediasi
penal mempertemukan antara pelaku tindak pidana dengan korban, maka mediasi
penal ini sering juga dikenal dengan istilah ”Victim-Offender Medi-ation”
(VOM), Täter-Opfer-Ausgleich (TOA), atau Offender-victim Arrangement
(OVA).
Mediasi
penal merupakan salah satu bentuk alternatif penyelesaian sengketa di luar
pengadilan (yang biasa dikenal dengan isti-lah ADR atau ”Alternative Dispute
Reso-lution”; ada pula yang menyebutnya “Apro-priate Dispute Resolution”.
ADR pada umumnya digunakan di lingkungan kasus-kasus perdata, tidak untuk
kasus-kasus pidana. Berdasarkan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia
saat ini (hukum positif) pada prinsipnya kasus pidana tidak dapat diselesaikan
di luar pengadilan, wa-laupun dalam hal-hal tertentu, dimungkinkan adanya
penyelesaian kasus pidana di luar pengadilan.
Walaupun
pada umumnya penyelesaian sengketa di luar pengadilan hanya ada dalam sengketa
perdata, namun dalam praktek sering juga kasus pidana diselesaikan di luar
pengadilan melalui berbagai diskresi aparat penegak hukum atau melalui
mekanisme musyawarah/perdamaian atau lembaga permaafan yang ada di dalam
masyarakat (musyawarah keluarga; musyawarah desa; musyawarah adat dsb.).
Praktek penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan selama ini tidak ada
landasan hukum formalnya, sehingga sering terjadi suatu kasus yang secara informal
telah ada penyelesaian damai (walaupun melalui mekanisme hukum adat), namun
tetap saja diproses ke pengadilan sesuai hukum yang berlaku.
Dalam
perkembangan wacana teoritik maupun perkembangan pembaharuan hukum pidana di
berbagai negara, ada kecenderungan kuat untuk menggunakan mediasi pidana/penal
sebagai salah satu alternatif penyelesaian masalah di bidang hukum pidana.
Menurut Prof. Detlev Frehsee, meningkatnya penggunaan restitusi dalam proses
pidana menunjukkan, bahwa perbedaan antara hukum pidana dan perdata tidak
begitu besar dan perbedaan itu menjadi tidak berfungsi.
Secara parsial dan terbatas sifatnya, mediasi penal
diatur dalam Surat Kapolri No Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember
2009 tentang Penanganan Kasus Melalui Alternatif Dispute Resolution (ADR) serta
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008
Tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam
Penyelenggaraan Tugas Polri. Namun surat edaran Kapolri tersebut rupanya belum
cukup kuat untuk menjadi dasar hukum mediasi penal.Akan lebih efekif apabila
substansi dari kebijakan Kapolri tersebut di kodifikasikan dalam sebuah regulasi
positif,sehingga tidak ada keraguan dari aparat untuk menyelenggarakan mediasi
dalam penanganan perkara pidana.
Polri sebagai institusi hukum berusaha seoptimal mungkin
untuk bertindak berdasarkan hukum yang ada.Apabila regulasi tentang mediasi
penal ini di lahirkan, secara yuridis Polri tidak perlu skeptis lagi dalam mengimplementasikan mediasi penal. Perkara pidana seperti apa
yang bisa diselesaikan secara mediasi penal?Dalam tataran mana mediasi penal di
terapkan? Bagaimana metode yang di gunakan dalam mediasi penal?Seberapa kuat
kepastian hukum dari perkara yang di selesaikan secara mediasi penal?Sederetan
pertanyaan tersebut akan bisa terjawab dalam ranah formulasi hukum.
Sudah saatnya di lakukan pembaharuan hukum pidana
Indonesia,karena pelaksanaan hukum positif dalam hal ini KUHP ketika di
terapkan pada kasus kasus tertentu ternyata tidak sesuai dengan keinginan
rakyat.DPR sebagai wakil rakyat dalam hal legislatif seharusnya lebih sensitif
dalam mengapresiasi respons masyarakat, sehingga sesegera mungkin
memformulasikan regulasi pidana baru, untuk menggantikan KUHP peninggalan
kolonial yang pada bagian tertentu tidak sejalan dengan budaya bangsa
Indonesia.
Penulis :
Kukuh Tirta S
SH,Mahasiswa Magister Hukum UII
Tidak ada komentar:
Posting Komentar