Kehidupan sosial selalu berubah dari
masa ke masa,Pola budaya masyarakat kita turut beriringan mengikuti alur
perubahan sosial tersebut yang secara siginifikan berkembang terseret naluri sosial
dimana bergerak dan berkehendak menuju ke kesejahteraan.Kehidupan masyarakat
Indonesia yang dulu sederhana serta bersahaja sekarang berubah drastis
memanjakan diri menjadi kaum yang berbudaya konsumtif.Produk baru baik dari
dalam negeri maupun produk import yang menjanjikan kenyamanan yang memanjakan
sehingga lebih praktis , mudah dan tak bertele-tele ataupun hanya sekedar
mengunggulkan kemewahan semakin banyak terlahirkan.Masyarakat kita sekarang
sudah terjebak dengan janji – janji manis dari produk- produk baru yang selalu
bermunculan.Adanya peluang dengan melihat animo masyarakat yang begitu antuias
dengan produk baru yang menjanjikan kemudahan dan keisitimewaan itu oleh para
pejuang bisnis sang kapitalis situasi tersebut di manfaatkan.Merekapun
memfasilitasi masyarakat golongan tertentu yang terjebak dalam budaya
konsumerisme ini untuk bisa mewujudkan mimpinya.Dengan dalih menyediakan
kerjasama modal dalam bentuk barang(Bank,Leasing,Finance dll),konsumen di
persilahkan memilih barang produk- produk baru kesukaannya,persyaratan mudah
bunga rendah.menggiurkan sekali...Sampai disini semua masih berjalan lancar
belum ada masalah kriminogen(Potensi
menjadi tindak pidana) yang muncul.
Tertariklah si Udin salah seorang pemuda dengan pekerjaan serabutan di
terminal bus yang notabene punya mental baja.Kampungnya yang tak terjangkau
angkutan umum menyulitkan dia untuk ke terminal dimana tempat untuk mengais
rizki.Atas rayuan dari SPG – SPG( Sales Promotion Girl)yang menawarkan produk
kendaraan bermotor dengan uang muka rendah membuat Udin terobsesi untuk keluar
keluar dari masalah transportasi yang selama ini mebebaninya.Di pilihlah salah
satu produk kendaraan bermotor tawaran SPG itu,dengan bermodal uang 1 juta
rupiah yang di minta dari orang tuanya.Di lengkapi dengan KTP dan fotokopi
kartu keluarga dari pihak perusahaan pembiayaan kredit mendatangi rumah udin
serta menyodorkan seberkas kertas perjanjian (Fidusia) untuk di tanda tangani
si Udin dari keluarga yang tadinya sederhana dan bersahaja,semenjak itu pula
Udin mendapat predikat baru sebagai seorang Debitur.Cicilan pertama Udin
sanggup membayar,Cicilan kedua Udin tersendat,cicilan ketiga Udin terseok dan
cicialn keempat Udin angkat tangan.Masalah pun timbul disini,si Udin yang
bermental baja siap menghalau debt collector untuk mempertahankan kendaraan
utangan itu.
Itulah sekelumit prosa yang
mendeskripsikan permasalahan social,dimana keadaan tersebut rentan untuk
berkembang menjadi situasi kriminogen.Contoh
nyata yang baru saja terjadi yaitu tindakan arogan dari debt collector salah
satu bank swasta yang menagih tunggakan utang kartu kredit sebesar Rp.
68.000.000,- namun karena belum sanggup membayar di indikasi ada tindak
kekerasan yang mengakibatkan si tertagih meninggal dunia.Sampai saat ini kasus
tersebut masih dalam proses penyidikan Polisi.Polisi dalam hal ini bertindak
setelah timbul adanya korban jiwa bahkan sampai meninggal dunia.Polisi bukan
menyidik pelaku sebagai seorang debt collector tapi dalam posisinya sebagai
tersangka pembunuhan.Sehingga kalau saja tidak terjadi pembunuhan maka polisi
hanya menjadi penonton di panggung sosial,meskipun di panggung tersebut telah
terjadi kegelisahan masyarakat karena akibat dari perjanjian fidusia.
Polisikah yang salah karena tidak
sanggup megamankan wilayahnya?Korbankah yang salah karena ingin menyempurnakan
cara hidupnya menjadi lebih mudah?Atau kaum kapitaliskah yang salah karena
memberikan bantuan modal kepada pihak yang membutuhkan?Disini di perlukan
keaktifkan hukum merespon masalah sosial.Namun perlu di cermati disini,Hukum
di konsepkan untuk Manusia,bukan Manusia yang di ciptakan untuk Hukum.Naluri
manusia yang selalu bergerak progresif untuk menuju kearah kesejahteraan tidak
boleh di kekang oleh hukum,namun sebaliknya hukum itu ikut mengalir bersama
naluri kemanusiaan tersebut sehingga substansi kesejahteraan tersebut dapat
tercapai.Disini hukum di perlukan seabagai pengawal menuju proses kesejahteraan
masyarakat.Biarkan si Udin berusaha keluar dari masalah transportasi yang
mengikatnya.Ikuti langkah kaum kapitalis untuk menolong sebagian masyarakat
yang membutuhkan dana pinjaman.Namun ketika terjadi konflik pernjanjian di
antara keduanya,hukum harus segera merespon sehingga kewajiban dan hak yang
mereka sandang dapat berjalan seimbang.
Pemerintah tidak boleh hanya menjadi
penonton kegelisahan masyarakat yang kini sudah menjadi situasi
kriminogen.Permasalahan utang piutang berujung pada tindak kekerasan.Atau
berlindung pada perjanjian fidusia,si Udin mental baja siap menghalau debt
collector yang akan menarik kendaraan bermotor utangnya.Udin berkeyakinan ini
adalah masalah perdata “Besok kalau saya punya duit,akan saya lunasi”.Tapi
entah kapan si Udin punya dana untuk melunasi utang – utangya juga tidak ada
kepastian.Tidak menjadi rahasia umum,sebagian golongan masyarakat telah
terbiasa bermain dengan kredit kendaraan bermotor seperti itu,mereka pun sudah
punya kiat untuk membohongi hukum.Dengan pegangan satu pasal 36 ayat (2) UU
HAM,tidak seorang pun boleh di rampas hak
miliknya dengan sewenang dan secara melawan hukum.
Meskipun tidak seluruhnya,namun
dalam kendaraan bermotor hasil utangan tersebut Udin mempunyai hak kepemilikan
karena sudah membayar uang muka dan cicilan pertama.Apabila di perlakukan
sewenang- wenang oleh debt collector,Udin bisa saja melapor ke polisi dengan
berlindung pada pasal tersebut.Dan Pak Polisi selain menerapkan pasal tersebut
juga bisa menerapkan pasal perampasan pasal 368 KUHP,”Barang siapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain
secara melawan hukum,memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan
untuk memberikan sesuatu barang,yang sebagian atau seluruhnya adalah kepunyaan
orang itu atau orang lain...”.Apabila situasinya memang demikian,maka
polisi di bohongi secara intelektual menjadi pelindung debitur bandel.Lagi-lagi
Polisi dapat bergerak dengan payung hukum setelah terjadi konflik kepentingan
masyarakat yang disertai kekerasan baik fisik maupun psikis.
Apakah tidak ada langkah lain untuk
keluar dari masalah social tersebut dengan tindakan pre-emtif,preventif dan
tidak mulu-mulu menggunakan tindakan represif.Dalam hal ini Polisi di batasi
dengan pasal 5 huruf (h) PP No.2 tahun 2003 dimana Polri tidak di perbolehkan
menjadi penagih utang atau pelindung yang punya utang.Namun pasal tersebut tidak seharusnya mematakan langkah
Polri untuk menjaga keseimbangan ketentraman dan ketertiban masyarakat.Polri
sebagai Pelindung,pengayom dan pelayan masyarakat yang berada pada garis
terdepan dimana langsung bersentuhan dengan masyarakat,wajib untuk bertindak ketika
mendapati permasalahan social apalagi sampai pada tingkat potensi
kriminogen.Tidak ada regulasi eksplisit yang memberikan kewenangan terhadap
Polri untuk menjadi mediator masalah utang pituang.Kita sebagai manusia yang
berakal dan berhati nurani,tidak sepantasnya di permainkan oleh skema
artifisial berupa undang-undang tekstualitas.Kita perlu mengintepretasikan cara
berhukum yang cerdas secara spiritual maupun intelektual.Apakah adil apabila
Udin tidak mau menyerahkan sepeda motor utanganya meskipun sudah menunggak 2
tahun semenjak cicilan pertama di bayarkan?Apakah adil perilaku Debt collector
arogan yang mengambil barang utangan dengan paksa?Dilematis memang,situasi
pragmatis seperti itu perlu turut campur pemerintah.
Pemerintah bisa bertindak setelah
mendapat payung hukum.Pemerintah dalam hal ini Polisi sebagai ujung tombak
untuk menjaga kemanan dalam negeri sebagai pelindung,pengayom dan pelayan
masyarakat seharusnya dapat bertindak lebih cepat.Meskipun belum terdapat
regulasi eksplisit yang mengatur tentang mediasi utang piutang,namun kalau kita
bisa menafsirkan UU secara progresif.Sebagai langkah antisipatif agar supaya hukum
tidak pernah tertinggal satu langkah di belakang peradaban manusia.Agar jangan
sampai terjadi situasi inpunitas sehingga manusia di bodohkan oleh hukum.Polisi
mempunyai kewenangan deskresi kepolisian seperti yang di atur dalam pasal 18
ayat (1) UU No 2 tahun 2002, untuk
kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaianya sendiri.
Dengan pegangan satu payung hukum
tersebut,Polisi dalam tugas dan wewenangnya menjaga keseimbangan ketertiban dan
ketentraman bermasyarakat serta melindungi,mengayomi dan melayani masyarakat
dapat melakukan upaya mediasi dalam kasus utang piutang sebelum berkembang
menjadi situasi kriminogen.Perlu di cermati disini,bahwa sebagai mediator
berbeda dengan sebagai penagih utang seperti yang di atur dalam Pasal 5 PP no 2
Tahun 2003.Namun karena pemahaman yang positivistic legalis anggota Polri dalam
mencermati hal tersebut tidak berani mengambil langkah dengan berpayung pada
kewenangan deskresi.Meskipun tidak mempunyai kewenangan upaya paksa dalam
proses mediasi tersebut,tapi setidaknya ada upaya penyelesaian untuk keluar dari
situasi kriminogen ini.Apabila upaya mediasi yang di fasilitasi Polri ini tidak
mempan,maka selanjutnya Polri pun harus berperan aktif membantu masyarakat
dengan meberikan pengetahuan dan tuntuan terhadap perkara tersebut.Karena upaya
mediasi yang gagal,pihak yang di rugikan yaitu kreditur dapat melapor ke
pengadilan agar supaya haknya yang di bawa oleh debitur mendapat solusi yang
mempunyai kekuatan hukum.Selanjutnya pengadilan dapat memberikan somasi kepada
debitur agar segera melunasi utangnya dan apabila dalam jangka waktu tertentu
tidak kunjung di lunasi juga maka bisa di lakukan penyitaan.Namun untuk sampai
ke tahapan itu kreditur akan menghadapi birokrasi yang bertele-tele sehingga
cara ini di anggap tidak efektif.
Menurut pendapat penulis bukan sebagai
orang yang pandai,namun kredibilitasnya sebagai rakyat yang gelisah dengan
situasi kriminogen tersebut perlu di buat regulasi eksplisit yang mendukung
penerapan kewenangan deskresi kepolisian tersebut diatas berubah menjadi
kewenangan legalis,Bukan pada level Undang-Undang namun cukup pada tingkat
Peraturan Pemerintah ,sehingga Polri yang mengerti persis keadaan sosial berikut
masalah yang terjadi di tengah-tengah masyarakat memiliki payung hukum yang
jelas sehingga dapat menempatkan dirinya sebagai mediator utang piutang bukan
sebagai penagih piutang atau pelindung utang.Perlu ada batasan kewenangan namun
juga ada jaminan kepastian hukum atas langkah- langkahnya sehingga tidak
terjerat dengan pasal 5 PP no 2 tahun 2003.(kkh/02411)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar