Hukum selalu teringgal satu langkah di belakang
peradaban manusia,bagaimana opini saudara dengan segelintir kalimat
tersebut?Akankah kita terima dan di perdaya oleh hukum?Ketika kita berbicara hukum
maka kita tidak akan pernah lepas dari topik sosiologi.Keadaan sosial selalu
bergerak berkembang mengikuti naluri manusia yang selalu berusaha menuju ke
arah kesejahteraan.Namun demikan ketika
setiap individu didalam ruang kehidupan sosial tersebut dalam
mengembangkan tindakannya untuk menuju kesejahteraan terkadang dilakukan dengan
mengganggu hak dari individu yang lainya.Sehingga disini akan terjadi konflik
kepentingan,oleh karena adanya hal tersebut maka hukum membatasi gerak setiap
individu secara terukur dan berimbang agar setiap hak dari masing individu
dapat berjalan selaras,seimbang dan tercipta keadilan untuk
kesejahteraan.Konsekuensi dari adanya pembatasan hak tersebut adalah adanya
kewajiban.Selain menjalankan hak-haknya maka setiap individu di dalam ruang sosial
terikat oleh hukum dan di bebankan suatu kewajiban.
Hukum di formulasikan sebagai
manifestasi gagasan untuk menciptakan keseimbangan antara hak dan kewajiban
tersebut secara empiris.Oleh karena itu tentunya sebelum ada hukum itu ada
perisitiwa yang secara harfiah melanggar norma tidak tertulis di dalam
masyarakat.Sehingga di buatlah hukum untuk membuat kepastian secara
preventif,protektif dan konsolidatif.Karena latar belakang pembuatan hukum itu
berdasar pada fakta empiris maka hukum itu baru di buat setelah ada perisitiwa
yang “tidak bisa di terima oleh masyarakat pada umumnya”.Dengan kata lain
apabila belum pernah ada perisitiwa tersebut maka hukum belum ada.Keadaan
seperti inilah yang penulis menyebutnya “hukum selalu tertinggal satu langkah
dari peradaban manusia”.Dengan melihat keadaan social di bidang
informasi,teknologi dan peradaban manusia lainnya yang selalu berkembang akan selalu ada
peristiwa baru yang sebelumnya tidak pernah terjadi.
Sementara itu hukum pidana kita
mengenal adagium ‘Nula puna sine culpa preivera legipunale” yang di jadikan
sebagai asas legalitas undang- undang pidana di republic ini yaitu “tidak ada
suatu tindakan di nyatakan bersalah sebelum di undangkan aturan yang mengatur
tentang tindakan tersebut”.Oleh karena itu hukum tidak berlaku surut,akibatnya
akan banyak sekali peristiwa inpunitas seiring dengan perkembangan keadaan
social yang sangat signifikan.Dalam keadaan pragmatis tersebut apakah kita akan
menerima begitu saja di perdaya oleh hukum?
Keadaan seperti diatas tidak perlu
terjadi apabila kita mengintepretasikan hukum sebagai skema artifisial yang
tidak terbatas pada makna tekstualitasnya saja.Inti dari hukum bukanlah pada
undang – undang yang secara eksplisit tertulis hitam di atas putih, namun
substansinya hukum itu terdapat pada manusia yang menjalankan hukum
tersebut.Selayaknya kita sebagai manusia yang di berikan kecerdasan intelektual
dalam otak dan di anugrahi kecerdasan spiritual di dalam sanubari.Maka
seyogyanya manusia menjalankan hukum dengan menggunakan kecerdasan spiritual
dan intelektual secara selaras dan berimbang.Penegakan hukum secara positivisme
yang terikat kaku pada sebuah aturan tetulis adalah merupakan pembodohan
manusia oleh hukum.Karena manusia akan kehilangan kecerdasan spiritualnya yang
merupakan anugrah paling istimewa yang di berikan sang pencipta.
Menafsirkan hukum secara progresif
seperti yang di cetuskan oleh Prof. Satjipto Rahardjo membawa solusi untuk
keluar dari belenggu hukum.Intepretasi hukum bukan pada arti sebuah kalimat
saja,namun dengan pemahaman pola pikir ( Mindset ).Sehingga apabila ada
peristiwa baru yang belum di atue secara eksplisit namun itu merupakan sebuah
kejahatan dan sudah timbul korban.Modus dan motifnya pun jelas,maka tidak perlu
menunggu sebuah aturan baru untuk membawa ke peradilan.Pemahaman seperti ini
akan meminimalkan suatu peristiwa kekosongan hukum ( Inpunitas).Salah satu
contoh yang pernah terjadi adalah pemahaman tentang definisi dari surat – surat
sebagai alat bukti.Apakah short massage service ( SMS ) yang berupa tulisan
tersebut bisa dijadikan alat bukti seperti halnya surat – surat?Sebelum adanya
Undang – Undang Informasi dan Tekhnologi hal tersebut sempat di
perdebatkan.Mestinya dengan pendekatan pemahaman pola pikir maka karena pada
waktu menggagas KUHP dahulu belum ada kecanggihan seperti SMS dan seiring
dengan perkembangan teknologi orang berkirim surat di gantikan dengan sms maka
sudah tidak perlu lagi memperdebatkan peran dan fungsi SMS apakah bisa di samakan
dengan surat yang dikirim lewat kantor Pos seperti jaman dulu.
Pemahaman progresif seperti ini juga menutup celah sebagian
anggota masyarakat yang menggunakan hukum sebagai alat untuk melakukan
kejahatan.Kasus yang banyak terjadi dikalangan menengah adalah tunggakan
utang.Karena utang piutang masuk ranah perdata maka Polisi tidak boleh campur
tangan dalam hal ini.Seorang yang menunggak utang selama bertahun-tahun tak
bisa di pidana hanya dengan sebuah kalimat “Besok kalau ada uang akan saya
bayar”.Apakah si penunggak utang berusaha membayar utang?Atau hanya bersantai –
santai menunggu lotre?Sampai kapan di Kreditur bersabar menunggu hutangnya di
lunasi oleh debitur?Hukum selama ini tidak dapat merampungakan situasi
kriminogen tersebut.Tindakan represif oleh siapapun tak di benarkan turut serta
di lakukan untuk perkara ini sebelum adanya putusan dari pengadilan.Padahal
untuk mendapatkan puusan hukum dalam kasus perdata membutuhkan biaya yang tidak
sedikit,waktu yang tidak sebentar dan birokrasi yang berbelit- belit.Kasihan
sekali rakyat yang akan mencari keadilan di Republik ini.
Kejahatan luar biasa harus ditangani
dengan tindakan luar biasa pula.Penulis menafsirkan kejahatan luar biasa adalah suatu kejahatan
yang belum diatur oleh undang – undang.Meskipun tidak menimbulkan korban jiwa
seperti kasus penunggak utang seperti diatas dapat di klasifikasikan kejahatan
luar biasa.Marilah kita buka hati nurani,kita cermati perbuatan penunggak utang
tersebut?Debitur yang mengambil utang dengan jaminan kepercayaan kepada
kreditur namaun akhirnya membandel tidak mau membayar utang dan berlindung pada
hukum dengan kalimat “Besok kalau ada uang akan saya bayar”.Secara kontradiktif
itu hanya alasan tanpa ada itikad dan ikhtiar untuk melunasinya.Kejahatan
seperti ini bisa di kategorikan ke dalam “Kejahatan Kepercayaan”.Kreditur juga
tidak bisa berbuat apapun,melakukan tindakan penyitaan sendiri pada harta di
debitur itu jelas di salahkan.Secara hukum positif bisa dikategorikan
perampasan.Meskipun si kreditur substansinya hanya berniat mengambil haknya.Ini
adalah celah hukum untuk berbuat kejahatan dan merupakan salah satu peristiwa
inpunitas.
Mestinya kekosongan hukum untuk
kasus tersebut seperti yang sekarang ini menjadi masalah tidak perlu terjadi
apabila ada pemahaman secara progresif.Pernyataan “Besok kalau ada uang akan
saya bayar”,itu dijadikan bukti dan dasar penyidik untuk bergerak menangani
perkara ini.Kalau ternyata kemudian si debitur mempunyai uang tapi tidak
membayarkan kepada kreditur,tidak kah ini termasuk penipuan atau penggelapan?Bukankah
itu termasuk kejahatan kepercayaan?Meskipun secara hukum positif tidak masuk ke
dalam unsur penipuan maupun penggelapan,namun kembali ke awal lagi.Terlepas
dari makna kriminalisasi,maukah kita di bodohkan oleh aturan tekstualitas?Substansi
dari hukum bukan pada aturan hitam diatas putihnya,namun terdapat pada pelaku
hukumnya terutama Polisi,Jaksa dan Hakim.Perlu koordinasi yang kompak antar
lembaga yang terkait dalam criminal justice system tersebut sehingga dapat
menjerat perkara tersebut.Perlu ada keselarasan intepretasi dari perspektif
dimensi yang searah di antara sesama institute penegak hukum.
Andai saja pemerintah melalui
institute penegak hukumnya bertindak lebih cepat dan peka terhadap situasi
kriminogen seperti diatas,maka tidak perlu Bank menyewa Debt Collector untuk
menagih hutang.Tidak akan terjadi penganiayaan seperti yang di lakukan oleh
Debt Collector City bank hingga meninggal dunia.Akan berapa banyak lagi perkara
seperti itu terjadi?Sedangkan transaksi utang piutang di antara masyarakat yang
berpotensi kriminogen seperti hal tersebut diatas setiap hari masih terjadi.Ini
menjadi pekerjaan rumah para institute penegak hukum untuk segera di
selesaikan,apakah mereka akan tetap bertahan pada era pemahaman positivisme?
Kita tunggu jawabannya dan berharap adanya aksi eksploitasi dari para punggawa
hukum di Republik ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar